Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

ERP dan Cipta Kerja: Embrio Masalah Baru di Jakarta

28 Februari 2023   21:25 Diperbarui: 28 Februari 2023   21:29 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.databoks.katadata.co.id  

Kecemasan Terhadap Penyalahgunaan Electronic Road Pricing oleh Pemangku Kebijakan

Pada dasarnya sejak awal perumusan sistem ERP di Jakarta ini telah memberatkan masyarakat khususnya masyarakat kecil dengan tingkat kerentanan yang tinggi dengan rata-rata pendapatan menengah kebawah. Tingkat tarif yang direncanakan dengan kisaran Rp. 5.000- Rp. 20.000 ini juga menimbulkan kecemasan terutama terhadap bagaimana dana hasil dari ERP akan dikelola dan seperti apa mekanisme pengelolaannya juga banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana bentuk transparansi data karena hasil dana dari penerapan kebijakan ini sangatlah tinggi dan rentan akan penyalahgunaannya.

Meskipun tingkat upaya pencegahan korupsi di Jakarta meningkat pada tahun 2022 sebesar 90% jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya 76% belum bisa serta merta menjadi penenang bagi masyarakat bahwa dana yang dihasilkan dari kebijakan ERP akan dikelola dengan aman. Berdasarkan pernyataan dari ketua komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail pada otomotifnet.gridoto.com bahwa pendapatan dari penerapan ERP di Jakarta ini sangatlah tinggi hingga mencapai Rp. 30 milyar dalam satu kali trip dan dapat mencapai Rp. 60 Milyar dalam satu hari. Dapat dibayangkan bahwa dana yang diperoleh Pemerintah dari hasil penerapan kebijakan ERP ini dalam sebulan dapat mencapai Rp.1,8 Triliun dan hal tersebut merupakan jumlah yang tinggi dengan tingkat kerentanan penyalahgunaan yang besar.

Berdasarkan pernyataan BPTJ hasil pendapatan dari penerapan kebijakan ERP ini tidak akan masuk ke kas pemerintahan provinsi Jakarta akan tetapi, dana hasil ERP akan masuk ke kas pemerintahan pusat melalui dengan kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP yang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas yang mendorong pembangunan Transportasi Publik. Melihat track record dari berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berasal dari pemerintahan pusat, proses pengelolaan dana dari hasil ERP ini harus dilakukan secara transparan agar hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Berdasarkan data dari www.databoks.katadata.co.id yang diperoleh dari hasil laporan yang dilakukan oleh Transparency International IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia tercatat meningkat 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100 pada 2021. Nilai yang meningkat ini turut mengerek posisi Indonesia lebih baik dalam urutan IPK global. Indonesia kini berada di urutan 96 dari 180 negara dari sebelumnya peringkat 102. 

Sumber : www.databoks.katadata.co.id
Sumber : www.databoks.katadata.co.id


Berdasarkan data diatas kita dapat mengetahui bahwa IPK Indonesia berada di angka 38 pada tahun 2021. Hal ini masih terbilang rendah meskipun terdapat peningkatan dari tahun sebelumnya namun, angka tersebut masih lebih rendah apabila dikomparasikan dengan tahun 2019 yang mencapai angka 40. 

Tahun ini, rata-rata IPK dunia tercatat sebesar 43. Nilai ini tidak berubah selama 10 tahun berturut-turut. Dua per tiga negara masih memiliki skor di bawah 50 yang mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki masalah korupsi serius. Fakta tersebut tentu membuat kecemasan masyarakat ini bukan tanda data yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditambah lagi dengan rata-rata pendapatan mencapai Rp. 21,6 Triliun/Tahun ini dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk digunakan terhadap hal-hal yang tidak diharapkan seperti berbagai kasus sebelumnya.

Bertambahnya Beban Rakyat Akibat Terbitnya PERPPU Cipta Kerja

Undang-undang Cipta Kerja merupakan UU yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020 sebagai UU No. 11 Tahun 2020 sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong iklim investasi yang baik yang dapat mengundang berbagai investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, juga sebagai usaha mengembangkan kompetisi yang sehat antara pelaku ekonomi lokal agar dapat mengembangkan produknya dengan inovasi inovasi yang dapat mendorong mereka ke kancah dunia.

Berdasarkan survey dari International Finance Corporation (IFC) tentang Index Easy of Doing Business tahun 2018, Indonesia masih berada di peringkat yang cukup rendah yaitu 73. Hal ini mengindikasikan masih sulitnya bagi berbagai perusahaan asing untuk melakukan investasi di Indonesia sehingga terbitlah usaha untuk merumuskan UU Cipta Kerja ini yang diatur dalam pasal 6-12 dengan mengubah segala sistem perizinan terkait investasi yang awalnya atas dasar izin atau license based menjadi basis risiko atau risk based. Meskipun pada dasarnya dirumuskannya undang-undang ini adalah agar semakin banyak perusahaan asing yang melakukan investasi di Indonesia, tetap saja terbitnya Undang-undang ini tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun