Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

ERP dan Cipta Kerja: Embrio Masalah Baru di Jakarta

28 Februari 2023   21:25 Diperbarui: 28 Februari 2023   21:29 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.databoks.katadata.co.id

Permasalahan kemacetan merupakan hal telah menjadi momok sejak lama di Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan ini selalu terjadi di setiap tahunnya. Berbagai kebijakan telah diterapkan demi meminimalisir masalah ini namun, hasilnya tidak terlalu signifikan. Beberapa kebijakan yang pernah diterapkan diantaranya adalah Three In One dan juga kebijakan ganjil genap. 

Kebijakan Three in One  merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa Gubernur Sutiyoso yang mengharuskan mobil berisikan 3 orang untuk melewati jalan-jalan tertentu di ibukota. Kemudian terdapat juga kebijakan ganjil genap yang mengharuskan pengendara menyelaraskan antara tanggal dan juga angka pada plat nomor yang terpasang di kendaraannya. 

Berbagai kebijakan tersebut telah dilakukan meskipun hasilnya masih belum dirasakan secara maksimal oleh masyarakat DKI Jakarta yang masih terus merasakan kemacetan di berbagai tempat sehingga menghambat mobilitas mereka. Kebijakan Pembatasan bagi sepeda motor untuk melintasi daerah Jalan Sudirman hingga M.H. Thamrin yang diatur dalam Pergub No. 195 Tahun 2014 juncto Pergub DKI No. 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda motor tersebut dicabut melalui mekanisme judicial review dengan putusan bernomor 57 P/HUM/2017 dalam putusan tersebut majelis hakim menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi. Hasil dari berbagai kebijakan yang dirasa belum maksimal tersebut mendorong pemerintah DKI Jakarta merencanakan untuk memberlakukan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) dengan harapan agar dapat meminimalisir kemacetan di jakarta secara signifikan.

ERP atau Electronic Road Pricing merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan (Cristiarina, 2011). Kebijakan ini merupakan kebijakan yang telah lama dirumuskan terutama oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta terutama pada jam jam krusial seperti pagi hari dan sore hari. Kebijakan ini direncanakan akan diterapkan di jalan-jalan utama untuk mengurangi kepadatan sehingga dapat memperlancar mobilitas masyarakat khususnya warga DKI Jakarta.

Namun, rencana penerapan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan mulus. Banyak pihak yang merasa penerapan kebijakan tersebut malah memberatkan masyarakat di berbagai golongan. Masyarakat merasa bahwa jalanan adalah hak mereka selaku pihak yang membayar pajak sehingga tidak perlu lagi dilakukan “pemerasan di jalanan” untuk melewati jalan-jalan yang ada di DKI Jakarta.

Meskipun demikian,Pemerintah DKI Jakarta dan juga DPRD DKI Jakarta terus mendorong agar Perda terkait kebijakan ERP ini akan segera tuntas pada tahun 2023 sehingga penerapan ERP dapat dilakukan sesegera mungkin. Hal itu seperti memperlihatkan bahwa pemerintah DKI Jakarta “tuli” akan aspirasi masyarakat yang akan sangat berdampak apabila kebijakan ini direalisasikan. Berbagai golongan salah satunya dari kalangan ojek online telah melakukan demonstrasi yang seharusnya menjadi pertimbangan bahwa kebijakan ini tidak mewakili kebutuhan masyarakat dan perlu dikaji ulang termasuk terkait kesiapan infrastruktur dan  berbagai hal lainnya sehingga kebijakan ini dapat mencapai target utamanya tanpa menyulitkan kebutuhan mobilitas masyarakat.


Pantaskah ERP Diaplikasikan di Jakarta?

Pejabat Pemerintah Provinsi selaku aparatur Negara sejatinya bertanggungjawab untuk memberikan segala kebutuhan yang diperlukan masyarakat dalam bentuk penerapan berbagai kebijakan yang dirasa pantas dan tepat untuk diaplikasikan di masyarakat. Segala macam usaha yang dilakukan oleh pemerintahan haruslah mewakili keresahan di masyarakat tanpa melahirkan masalah yang lebih mendasar dan segala usaha tersebut dirumuskan dalam kebijakan publik (Joko Widodo, 2021). Kebijakan publik adalah  serangkaian  rencana program, aktivitas, aksi, keputusan, sikap, untuk bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak (aktor-aktor kebijakan), sebagai tahapan untuk penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi dan segala tindakan itu didasarkan pada kepentingan masyarakat (iskandar, 2012).

ERP atau Electronic Road Pricing merupakan salah satu bentuk wacana dari kebijakan publik terkait keresahan masyarakat akan kemacetan. Akan tetapi, kebijakan ini dirasa membebani masyarakat di berbagai tingkatan dan hanya menyelesaikan masalah dengan masalah baru sehingga dipertanyakan keefektifitasannya untuk menyelesaikan problematika kemacetan yang sudah menjadi darah daging DKI Jakarta. Banyak pihak yang merasa bahwa kebijakan ini perlu dilakukan riset yang lebih mendalam sebelum direalisasikan dalam bentuk kebijakan yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perumusan kebijakan ini pun dinilai sangat minim terkait partisipasi masyarakat didalamnya dan dilakukan dalam keadaan yang terlalu terburu-buru (Meaningful Participation) padahal berdasarkan Pasal 96 Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut. Hal ini tercerminkan dalam demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi ojek online di depan balaikota pada tanggal 8 Februari 2023. Demonstrasi itu menggambarkan bahwa proses sosialisasi dan juga ruang partisipasi yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat dalam hal perumusan wacana kebijakan ini sangatlah kurang dan hal ini merupakan hal yang mendasar karena pada dasarnya kebijakan ERP ini merupakan bentuk kebijakan publik yang perlu melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya. Sehingga, kebijakan ini tidak seakan-akan “mencuri uang masyarakat melalui kedok kebijakan publik” yang akan sangat merugikan masyarakat terutama sekarang masih dalam suasana pemulihan pasca pandemi covid-19.

Selain ruang partisipasi masyarakat yang kurang, para pengamat salah satunya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menilai bahwa proses perumusan kebijakan ini perlu diikuti oleh pembentukan beberapa kebijakan lainnya sehingga mendukung keberhasilan capaian dari kebijakan ERP ini. Salah satu yang dipertanyakan oleh LBH adalah bagaimana usaha yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk mengintegrasikan transportasi publik untuk kebutuhan mobilitas warga DKI Jakarta ketika ERP ini direalisasikan. Karena berdasarkan pernyataan Pemprov DKI Jakarta yang menjadi sasaran adalah bahwa apabila pengendara merasa keberatan dengan tarif yang dikenakan di jalan-jalan tertentu akan beralih menggunakan transportasi umum yang telah disediakan namun kebutuhan transportasi massal pun belum siap untuk menampung hal tersebut. Pemerintah DKI Jakarta perlu memperhatikan aksesibilitas dan juga ketersediaan bagi masyarakat yang termarjinalkan. Akan tetapi, Pemprov DKI Jakarta justru berencana memotong subsidi PSO Transjakarta dan menghapuskan anggaran pembangunan jalur sepeda dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023 Pemprov DKI yang kontradiktif dengan tujuan tersebut.  Selain itu, wacana kebijakan akan naiknya tarif dari KRL juga menjauhkan masyarakat yang rentan dari aksesibilitas terhadap transportasi publik untuk mobilitas mereka di ibukota. Hal ini tentu saja bertolak belakang dari apa yang diharapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta yang berharap agar masyarakatnya dapat pindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum demi mengurangi kemacetan sehingga Pemerintah juga perlu memperhatikan kebijakan ini sebelum meresmikan peraturan ERP. selain itu, ketidaktersediaannya transportasi umum yag memadai dan ramah bagi masyarakat kemudian akan menimbulkan masalah baru karena masyarakat yang tetap bersikeras menggunakan kendaraan pribadi akan pindah ke jalan yang tidak berbayar dan hal tersebut tidak akan menyelesaikan kemacetan namun, hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain dan hal tersebut membuat ERP ini tidak akan efektif.

Dalam merumuskan kebijakan ini pemerintah juga perlu memperhatikan bagaimana kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi covid-19 sehingga banyak masyarakat yang masih kesulitan secara ekonomi terutama kelompok menengah kebawah. Demonstrasi yang dilakukan oleh ojek online kemarin juga mewakili kaum pekerja yang memiliki perlindungan hukum pekerja yang lemah. Meskipun Pemprov telah menyatakan bahwa ERP tidak diberlakukan kepada para pengendara ojek online akan tetapi perlu juga memperhatikan para pekerja dalam kategori terkait di bidang lainnya dan itu perlu waktu sehingga apa yang ditargetkan oleh ERP ini terealisasikan dengan baik tanpa memberatkan masyarakat.

Kecemasan Terhadap Penyalahgunaan Electronic Road Pricing oleh Pemangku Kebijakan

Pada dasarnya sejak awal perumusan sistem ERP di Jakarta ini telah memberatkan masyarakat khususnya masyarakat kecil dengan tingkat kerentanan yang tinggi dengan rata-rata pendapatan menengah kebawah. Tingkat tarif yang direncanakan dengan kisaran Rp. 5.000- Rp. 20.000 ini juga menimbulkan kecemasan terutama terhadap bagaimana dana hasil dari ERP akan dikelola dan seperti apa mekanisme pengelolaannya juga banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana bentuk transparansi data karena hasil dana dari penerapan kebijakan ini sangatlah tinggi dan rentan akan penyalahgunaannya.

Meskipun tingkat upaya pencegahan korupsi di Jakarta meningkat pada tahun 2022 sebesar 90% jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya 76% belum bisa serta merta menjadi penenang bagi masyarakat bahwa dana yang dihasilkan dari kebijakan ERP akan dikelola dengan aman. Berdasarkan pernyataan dari ketua komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail pada otomotifnet.gridoto.com bahwa pendapatan dari penerapan ERP di Jakarta ini sangatlah tinggi hingga mencapai Rp. 30 milyar dalam satu kali trip dan dapat mencapai Rp. 60 Milyar dalam satu hari. Dapat dibayangkan bahwa dana yang diperoleh Pemerintah dari hasil penerapan kebijakan ERP ini dalam sebulan dapat mencapai Rp.1,8 Triliun dan hal tersebut merupakan jumlah yang tinggi dengan tingkat kerentanan penyalahgunaan yang besar.

Berdasarkan pernyataan BPTJ hasil pendapatan dari penerapan kebijakan ERP ini tidak akan masuk ke kas pemerintahan provinsi Jakarta akan tetapi, dana hasil ERP akan masuk ke kas pemerintahan pusat melalui dengan kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP yang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas yang mendorong pembangunan Transportasi Publik. Melihat track record dari berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berasal dari pemerintahan pusat, proses pengelolaan dana dari hasil ERP ini harus dilakukan secara transparan agar hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Berdasarkan data dari www.databoks.katadata.co.id yang diperoleh dari hasil laporan yang dilakukan oleh Transparency International IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia tercatat meningkat 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100 pada 2021. Nilai yang meningkat ini turut mengerek posisi Indonesia lebih baik dalam urutan IPK global. Indonesia kini berada di urutan 96 dari 180 negara dari sebelumnya peringkat 102. 

Berdasarkan data diatas kita dapat mengetahui bahwa IPK Indonesia berada di angka 38 pada tahun 2021. Hal ini masih terbilang rendah meskipun terdapat peningkatan dari tahun sebelumnya namun, angka tersebut masih lebih rendah apabila dikomparasikan dengan tahun 2019 yang mencapai angka 40. 

Tahun ini, rata-rata IPK dunia tercatat sebesar 43. Nilai ini tidak berubah selama 10 tahun berturut-turut. Dua per tiga negara masih memiliki skor di bawah 50 yang mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki masalah korupsi serius. Fakta tersebut tentu membuat kecemasan masyarakat ini bukan tanda data yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditambah lagi dengan rata-rata pendapatan mencapai Rp. 21,6 Triliun/Tahun ini dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk digunakan terhadap hal-hal yang tidak diharapkan seperti berbagai kasus sebelumnya.

Bertambahnya Beban Rakyat Akibat Terbitnya PERPPU Cipta Kerja

Undang-undang Cipta Kerja merupakan UU yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020 sebagai UU No. 11 Tahun 2020 sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong iklim investasi yang baik yang dapat mengundang berbagai investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, juga sebagai usaha mengembangkan kompetisi yang sehat antara pelaku ekonomi lokal agar dapat mengembangkan produknya dengan inovasi inovasi yang dapat mendorong mereka ke kancah dunia.

Berdasarkan survey dari International Finance Corporation (IFC) tentang Index Easy of Doing Business tahun 2018, Indonesia masih berada di peringkat yang cukup rendah yaitu 73. Hal ini mengindikasikan masih sulitnya bagi berbagai perusahaan asing untuk melakukan investasi di Indonesia sehingga terbitlah usaha untuk merumuskan UU Cipta Kerja ini yang diatur dalam pasal 6-12 dengan mengubah segala sistem perizinan terkait investasi yang awalnya atas dasar izin atau license based menjadi basis risiko atau risk based. Meskipun pada dasarnya dirumuskannya undang-undang ini adalah agar semakin banyak perusahaan asing yang melakukan investasi di Indonesia, tetap saja terbitnya Undang-undang ini tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat. 

Banyak hal yang menjadi kontroversi di masyarakat terkait permasalahan ini diantaranya adalah terkait Pasal 81 UU Ciptaker ini yang awalnya adalah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan terkait upah pekerja. Pasal ini menghilangkan beberapa kebijakan yang sejatinya hal tersebut merupakan hak para pekerja seperti upah pesangon, upah akibat mengambil hak waktu istirahat, dan juga upah mengenai perhitungan pajak penghasilan. Selain itu, pada pasal 81 No. 29 Undang-undang Cipta Kerja yang sebelumnya diatur dalam pasal 91 Undang-undang Ketenagakerjaan menghapus sanksi bagi pengusaha yang tidak memberikan hak berupa upah sesuai ketentuan kepada para pekerja yang tentunya menimbulkan gelombang protes dari masyarakat khususnya kaum buruh sebagai pihak yang terdampak.

Akibat berbagai kontroversi yang hadir di masyarakat ini akhirnya mengundang berbagai pihak untuk memperjuangkan hak-hak para pekerja yang dihilangkan lewat gugatan yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi. Bukan hanya pekerja gugatan ini bersumber dari berbagai pihak, seperti serikat buruh, mahasiswa, hingga akademisi. Terdapat total  sembilan gugatan yang disampaikan ke MK, namun hanya satu gugatan yang diterima oleh pihak Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan putusan tersebut terdapat 7 pihak yang melakukan gugatan yaitu Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muchtar Said, Hakimi Irawan, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Alam Minangkabau, dan Migrant Care. Majelis hakim menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dinilai cacat secara formil, akibatnya dianggap inkonstitusional bersyarat. Berdasarkan mkri.id, Ketua MK Anwar Usman menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak sejalan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup. Selain itu, MK menilai bahwa pembentukan Undang-Undang ini tidak sesuai dengan UUD 1945. Alhasil MK memberikan jangka waktu selama 2 tahun untuk pihak pembuat Undang-Undang agar melakukan revisi dan apabila selama waktu yang telah ditentukan pihak pembuat Undang-Undang belum melakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan sebagai Undang-Undang yang Inkonstitusional secara permanen.

Kemudian pada tanggal 30 Desember 2022 pemerintah menerbitkan PERPPU Cipta Kerja yang menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai bagian dari upaya pemerintah menyikapi tekanan ekonomi global. Ancaman yang akan datang berupa krisi pangan, energi, keuangan, hingga perubahan iklim dirasa menjadi alasan yang tepat untuk diterbitkannya PERPPU ini. Alasan lainnya adalah pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara hingga di bawah 3% di tahun 2022 dan PERPPU ini diharapkan dapat mengisi kepastian hukum. Dalam putusannya MK mengamanatkan kepada pihak pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dan membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik. Berlawanan dengan amanat tersebut, Pemerintah justru menerbitkan PERPPU yang menunjukan bentuk otoritarianisme dari pemerintahan yang berkuasa sekarang. 

Terbitnya PERPPU ini tentu bertolak belakang dengan kebijakan ERP yang akan memonetisasi jalanan arteri di Jakarta yang kerap digunakan para pekerja untuk mobilitas ke tempat mereka bekerja. Pengeluaran yang semakin banyak namun pemasukan yang semakin minim akan memberatkan para pekerja terutama pekerja dengan upah menengah kebawah. Tentu saja hal ini mengundang penolakan dari pihak serikat buruh. Penolakan tersebut datang dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia atau Aspek Indonesia yang merasa kebijakan ERP ini akan memberatkan golongan pekerja. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ERP ini akan mengurangi pendapatan buruh terutama mereka yang menjadi kurir atau pengemudi ojek daring. Meskipun pemerintah telah mengatakan bahwa pengemudi ojek daring akan terbebas dari ERP, harus tetap diperhatikan bahwa hal tersebut bisa saja menimbulkan kecemburuan sosial dari golongan pekerja lainnya yang memiliki kebutuhan yang sama terkait penggunaan jalanan di Jakarta, karena pada dasarnya jalanan tersebut adalah hak mereka selaku masyarakat yang membayar pajak. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan apabila pemerintah belum bisa memberikan lapangan pekerjaan dengan luas yang ditandai oleh banyaknya pemutusan kerja di berbagai perusahaan, seharusnya pemerintah tidak memberatkan rakyat khususnya golongan pekerja yang rentan dengan menerapkan kebijakan ERP ini.

Subsidi Kendaraan Listrik, Selamatkan Iklim Tambah Kemacetan

Penerapan kebijakan ERP bukan hanya digunakan untuk menyelamatkan Jakarta dari kemacetan yang sangat mengganggu mobilitas warganya, tapi juga untuk menyelamatkan udara Jakarta agar jakarta tetap layak huni. Diantara upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengurangi produksi gas co² di Jakarta dengan mengurangi jumlah kendaraan berbahan bakar fosil di jakarta dan menggantinya dengan kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.

Pemerintah sedang menyiapkan insentif untuk kendaraan listrik. Dilaporkan, mobil listrik akan mendapatkan subsidi sebesar Rp 80 juta, mobil hybrid Rp 40 juta, motor listrik Rp 8 juta dan motor konversi Rp 5 juta. Usaha ini dilakukan agar menarik minat masyarakat untuk mengganti kendaraan yang sebelumnya menggunakan bahan bakar fosil menjadi kendaraan dengan tenaga listrik agar output yang dikeluarkan tidak menyakiti udara di Jakarta dengan asap yang mengundang lebih banyak polusi.

Pengamat Transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno mengatakan bahwa kebijakan insentif yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat ini perlu dikaji lebih mendalam karena hal ini bisa saja menghasilkan lebih banyak kemacetan hingga kecelakaan lalu lintas. Insentif yang diberikan mungkin saja dapat mengurangi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, akan tetapi hal tersebut akan menambah jumlah kendaraan di Jakarta yang hanya akan memperburuk kemacetan yang telah ada di Jakarta.

Hal ini bertolak belakang dengan ide dari rencana ERP yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Insentif yang diberikan Pemerintah bisa saja menjadi penghambat tujuan ERP dan hanya akan menambah masalah baru. Kemacetan yang semakin parah ini juga di amini oleh luas jalan di Jakarta yang terbatas dan apabila semakin banyak kendaraan ditambah lagi apabila  ERP benar-benar direalisasikan hanya membuat tingkat kemacetan meningkat bukan hanya di jalanan utama, namun juga di jalan alternatif sehingga pemerintah perlu mengkaji kebijakan insentif ini agar tidak menimbulkan blunder bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan menyulitkan seluruh masyarakat DKI Jakarta terutama dalam hal mobilitas.

Mengingat kondisi layanan transportasi umum makin menurun dan kondisi geografis yang menyulitkan penyaluran BBM, maka lebih bijak insentif kendaraan listrik diprioritas untuk membenahi transportasi umum, mobilitas di daerah 3 T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) dan daerah kepulauan. Angka inflasi dapat ditekan dengan makin banyak warga menggunakan transportasi umum di perkotaan dan hal ini juga mendorong jumlah kendaraan pribadi di Jakarta yang berdampak pada mengurangnya kemacetan di Jakarta dan juga mengamankan kondisi udara di Jakarta sehingga Jakarta tetap menjadi kota yang layak huni dan ramah bagi daerah sekitarnya.

Menilik Dampak Penerapan Kebijakan ERP Bagi Masyarakat

Ambisi Pemprov DKI Jakarta dalam mewujudkan ERP mungkin terinspirasi dari kisah sukses di negara tetangga seperti Singapura. Namun, kesuksesan kebijakan ERP di Singapura tidak bisa dilihat dalam kerangka satu kebijakan saja. Berbagai kebijakan transportasi lain, seperti pembangunan infrastruktur transportasi publik yang serius, ikut ambil andil yang tak kalah besar dalam keberhasilan Singapura mengelola mobilisasi warganya. Sayangnya, keterbatasan pelayanan kendaraan umum di Jakarta, katakanlah perkara Manggarai yang seharusnya menjadi jagoan transportasi publik, menunjukkan sistem mobilisasi transportasi publik yang belum memadai. 

Selain itu, kebijakan ERP ini memerlukan investasi yang tak murah. Agar bisa berjalan dengan maksimal, pemerintah perlu memastikan integrasi yang mulus antara data kepemilikan kendaraan, sistem pemantauan lalu lintas hingga sistem pembayaran. Tentunya, butuh waktu, dan menilik dari rekam jejak pemerintah yang kerap terburu-buru ketika mengimplementasikan kebijakan baru, hal ini membuat ragu. Karena yang pada akhirnya, masyarakat yang akan terkena dampaknya. 

Pada sisi sosial-ekonomi, pengenaan tarif baru tersebut berarti akan menambah beban biaya yang ditanggung masyarakat. Tambahan beban tersebut akan memperburuk kesenjangan sosial karena masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan menjangkau jalan yang diberlakukan ERP. Melihat situasi sosial-ekonomi rakyat, maka wajar untuk terbenak dalam pikiran bahwa masyarakat akan menggunakan jalan alternatif, yang mana pada akhirnya menciptakan lingkaran setan kemacetan pada jalan-jalan alternatif tersebut. 

Perlunya Mengintegrasi Transportasi Publik di Jakarta

Ketersediaan Transportasi publik di Jakarta memang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya hal ini juga diikuti dengan jumlah peminat transportasi publik terutama MRT yang meningkat pada tahun lalu yang mencapai angka 19,77 Juta pengguna (Data Indonesia.id, 2023). Hal tersebut perlu terus didukung dengan usaha melalui pengembangan berbagai fasilitas sehingga menjaga konsistensi pengguna transportasi publik di jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh melalui databoks.katadata.co.id berikut merupakan jumlah pengguna transportasi umum di Jakarta pada pertengahan 2022.

Sumber : www.databoks.katadata.co.id  
Sumber : www.databoks.katadata.co.id  

Meskipun berdasarkan data diatas minat warga DKI Jakarta mengalami peningkatan namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu juga terus memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong lebih banyak lagi pengguna transportasi umum di Jakarta. Selain itu, perlu juga mengintegrasikan seluruh transportasi umum yang ada agar dapat mudah dijangkau masyarakat terus masyarakat yang jauh dari pusat kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu terus menambah rute dari transjakarta dan bus-bus lainnya sehingga mempermudah mobilitas warga DKI Jakarta. 

Perbaikan konektivitas dan infrastruktur ini juga bagian dari usaha untuk memberikan kenyamanan bagi para pengguna yang sebagian besar merupakan warga bodetabek. Sehingga, alangkah baiknya apabila dana yang disiapkan untuk perencanaan sistem ERP ini dialihkan ke dana untuk perbaikan dan pengembangan transportasi publik yang ada seperti terkait fasilitas, penambahan rute yang menjangkau daerah-daerah suburban sehingga transportasi publik yang ada dapat terhubung dan memudahkan mobilitas warga Jakarta di seluruh wilayah tanpa terkecuali Hal tersebut dimaksudkan agar dapat mengundang lebih banyak warga Jakarta yang memilih transportasi publik sebagai sarana mobilitas utama dan dapat mencapai target Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait berkurangnya kemacetan dan menurunnya emisi karbon secara masif di Jakarta

Perlunya Penyesuaian Tarif dengan Masyarakat yang Terdampak

Dalam perumusan kebijakan ERP Pemerintah perlu menimbang masyarakat terdampak terutama terkait permasalahan tarif yang memberatkan masyarakat. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Memperingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwasanya kebijakan ERP ini lama dirumuskan sebagai usaha untuk mengurangi kemacetan bukan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat. Hal tersebut membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memperhatikan asas keadilan dalam merumuskan rencana tarif yang akan ditetapkan agar tidak membebani masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah.

Tarif ERP harus dirancang sebagai keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelesaikan kemacetan bukan mencari keuntungan untuk pengembalian modal melalui dompet masyarakat. Tarif yang tinggi namun tidak diikuti dengan pembenahan transportasi umum karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, pemberlakuan ERP ini hanya akan mengundang resistensi dari masyarakat.

Dalam penentuan tarif perlu bagi Pemerintah untuk merumuskannya bersama berbagai pihak yang terdampak. Banyak pekerja terutama pekerja dengan upah menengah kebawah yang akan semakin sengsara dengan adanya PERPPU Cipta kerja, begitu pula dengan naiknya harga Transportasi publik yang semakin memberatkan ekonomi masyarakat. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah DKI Jakarta, apakah ERP ini dapat menyelesaikan permasalahan atau malah semakin menyengsarakan masyarakat terutama masyarakat yang termarjinalkan.

Melakukan Riset di Negara-negara yang menerapkan kebijakan ERP

Jakarta bukanlah kota pertama di dunia yang menerapkan sistem Electronic Road Pricing sebagai usaha meredam kemacetan. Berbagai negara telah menetapkan kebijakan ini bahkan jauh sebelum isu mengenai ERP di Jakarta bergulir. Diantara negara yang menerapkan sistem ini adalah Singapura yang merupakan negara pertama yang menerapkan  sistem ERP ini pada tahun 1998 dengan nama Urban road user charging. Sebelum menggunakan ERP Singapura menerapkan sistem Area-Licensing Pricing (ALS). Singapura menerapkan sistem ini di 42 titik demi mengurangi kemacetan. Disamping itu singapura sudah memiliki Transportasi publik yang terintegrasi ke hampir seluruh wilayah sehingga memudahkan proses transisi masyarakatnya dari transportasi pribadi ke transportasi publik. Tarif yang ditetapkan pun sudah sesuai dengan pendapatan rata-rata warga Singapura sehingga tarif yang ditetapkan antara US$ 0, 40- US$ 6.20 dengan jam operasi dari pukul 07.00 hingga 21.30 dengan prestasi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 25%

Perbandingan Rencana Tarif ERP di Jakarta dengan Tarif ERP di Singapura

Sumber: www.katadata.co.id. 
Sumber: www.katadata.co.id. 

Penetapan tarif tersebut dirasa masih terlalu rendah oleh pengamat transportasi Djoko Setijowarno yang mengusulkan untuk menaikan tarif maksimum menjadi Rp. 75.000. Namun, hal ini perlu menjadi perhatian karena seperti yang telah disebutkan bahwa penetapan tarif perlu disesuaikan oleh kondisi ekonomi masyarakat sehingga kebijakan ini tidak memberatkan sama sekali. Apabila pemerintah dirasa belum siap lebih baik kebijakan ERP ini kembali didiskusikan dan dapat direalisasikan pada waktu yang tepat setelah segala kebutuhan yang mendukung suksesnya kebijakan ini dalam mengurangi kemacetan dapat terlaksana.

Referensi

Arief, M. Andi. (2023). Buruh Tolak Kebijakan ERP Jalan Berbayar, Potensi Gerus Pendapatan. www.katadata.co.id. Diakses pada 19 Februari 2023.

Badan Pusat Statistik (2022).bps.go.id. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2022 sebesar 3,93; meningkat dibandingkan IPAK 2021. https://www.bps.go.id/pressrelease/2022/08/01/1908/indeks-perilaku-anti-korupsi--ipak--indonesia-2022-sebesar-3-93--meningkat-dibandingkan-ipak-2021.html

Christiarini, D. (2011). Analisis rencana pemberlakuan electronic road pricing untuk mengurangi polusi lingkungan (kasus jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat).

Distania, R. (2019). Sebelum Jakarta Ini Negara-negara yang Sukses Menerapkan ERP. www.akurat.co. Diakses 15 Februari 2023.

Ferdian. (2023). Lumayan Juga, Keuntungan Jalan Berbayar di Jakarta Tembus Rp.60 M per Hari. www.otomotifnet.gridoto.co.id. Diakses pada 18 Februari 2023.

Hidayat, R. (2021). Anies Sebut DKI Jakarta Raih Peringkat Terbaik Dalam Pencegahan Korupsi. www.megapolitan.kompas.com. Diakses pada 19 Februari 2023. 

Ibrahim, A. (2022). Tarif KRL Naik Tahun Depan, Berapa Harganya?. www.cnnindonesia.com. Diakses pada 13 Februari 2023.

Iskandar, A. (2012). Kebijakan dan implementasi pemberdayaan masyarakat melalui pabrik garam. Jurnal Sosial Humaniora, 3(1).

Kusnandar, Budy Viva. (2022). Penumpang MRT Menunjukan Tren Naik Sejak Februari 2022. www.databoks.katadata.co.id. Diakses pada 14 Februari 2023.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. (2023). Kebijakan Jalan Berbayar (ERP) Pemprov DKI Jakarta: Solusi Tak Berkeadilan Di Tengah Masih Buruknya Aksesibilitas Transportasi Publik. www.bantuan hukum.or.id. Diakses pada 11 Februari 2023.

Merdeka. (2022). Insentif Kendaraan Listrik Dinilai Kurang Efektif, Hanya Tambah Kemacetan. www.merdeka.com. Diakses pada 20 Februari 2023.

Nafanu, G. (2023). Siapa Akan Untung dengan Adanya Aturan Electonic Road Pricing?. www.netizen.kompas.com. Diakses pada 20 Februari 2023.

Pahlevi, R. (2022). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik 1 Poin Jadi 38 Pada Tahun 2021. www.databoks.katadata.co.id. Diakses pada 19 Februari 2023.

Rahardiansyah, R. (2022). Subsidi Mobil Listrik Tak Selesaikan Masalah, Macet Malah Bisa Makin Parah. www.oto.detik.com. Diakses pada 20 Februari 2023.

Rika, H. (2023). ERP Disebut Bisa Bikin Masalah Baru, Macet Pindah ke Jalan Tak Bayar. www.cnnindonesia.com. Diakses pada 13 Februari 2023.

Sadya, Sarnita. (2022). Penumpang MRT Capai 19,77 Juta Orang Sepanjang 2022. www.data indonesia.id. Diakses pada 14 Februari 2023.

Yanwardhana, E. (2023). Jalan di DKI Bakal Berbayar, PNS-Pekerja Swasta Kena Getahnya. www.cnbc indonesia.com. Diakses 13 Februari 2023. 

Widodo, J. (2021). Analisis kebijakan publik: Konsep dan aplikasi analisis proses kebijakan publik. Media Nusa Creative (MNC Publishing).

Zahira, N. (2023). Empat Negara Ini Sudah Terapkan ERP, Ada yang Sejak 1964. www.katadata.co.id. Diakses pada 15 Februari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun