Mari Kita Dengarkan Bisikan dari Masa Lalu
Bayangkan seekor gajah kecil berlari di Lembah Mata Menge, Flores, 800.000 tahun silam. "Manusia Cekungan So'a", leluhur Homo Floresiensis setinggi satu meteran, berburu dengan batu bergigi runcing. Kini, di tanah yang sama, jari manusia mengetik kode kuantum.
Perjalanan ini berakar jauh di masa lalu, di Cekungan So'a, Flores Tengah---sebuah situs purba yang usianya jauh melampaui Liang Bua. Di sanalah, jejak Manusia Purba ditemukan, diperkirakan berusia 700.000 hingga 800.000 tahun yang lalu, nenek moyang dari Homo Floresiensis. Dari kedalaman zaman itu, saya seolah mendengar bisikan purba:
"Di Lembah Mata Menge, Cekungan So'a ini, saya pernah ada. Tubuh saya mungil, gesit, setiap napas adalah perjuangan melawan raksasa yang telah punah. Air Ae Sesa mengalir, sama seperti darah di nadi saya, membawa kisah-kisah batu dan api yang sederhana. Kami bertahan dengan batu. Kami, para 'hobbit' Flores, menari di antara tebing-tebing curam, di bawah langit yang sama. Eksistensi kami adalah absurditas yang agung, sebuah ketabahan tanpa pertanyaan, seperti karang yang tak gentar diterjang ombak dan pohon lontar yang tetap tegak diterjang badai. Kami hanya tahu hidup, berburu, bertahan. Tak ada kata untuk 'masa depan', hanya 'sekarang' yang abadi. Sebuah keberadaan yang telanjang, tanpa beban janji atau ancaman esok."
Sebuah Perjalanan Epik dari Analog ke Digital
Bagaimana jika hobbit Flores bisa menyaksikan AI? Apa yang akan mereka katakan tentang negeri yang dulu mereka huni, kini berlari menuju singularitas?
Serial tulisan ini akan membawa Anda dalam perjalanan epik evolusi manusia, dari kemunculan Homo Floresiensis hingga transformasi kita menjadi Homo Sapiens, dan kini, di ambang era digital. Mari kita selami sebuah saga yang akan mengungkap akar kita dan memproyeksikan masa depan Indonesia di era digital, sebuah perjalanan yang terbagi dalam tiga bagian besar: Fondasi, Disrupsi, dan Visi & Transformasi.
Ribuan abad berlalu sejak bisikan purba itu. Kini, di dataran Mbay, hilir sungai Aesesa---tempat sungai ini membelah datarannya sampai ke Laut Flores di Utara---saya duduk di samping api unggun yang berkedip di senja. Sebagai seorang Xennial, lahir dalam simpang jalan antara analog dan digital, antara dongeng lisan dan algoritma. Masa kecil saya diisi suara kaset pita dan radio gelombang AM, masa muda saya menyaksikan warnet dan SMS, dan kini saya hidup di era kecerdasan buatan yang bisa menulis puisi lebih lancar dari penyair. Saya merangkai pikiran melintasi zaman. Tanah Nagekeo, "The Heart of Flores", menjadi kanvas refleksi tentang lompatan evolusi yang jauh lebih cepat dari yang pernah kita bayangkan. Ingatan purba menyatu dengan kesadaran kita sebagai Homo sapiens, pewaris yang memegang kunci masa depan. Tangan kita, dulu menggenggam batu, kini menyentuh kode-kode yang merangkai dunia. Saga ini adalah perjalanan takdir kita, dari debu purba hingga kilau piksel, sebuah epik tentang manusia dan teknologi yang tak terpisahkan. Sebuah ironi, mungkin, bahwa di tengah kemajuan yang gemilang, kita masih bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan abadi tentang makna dan keberadaan, seperti Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak bukit, mencari tujuan di setiap dorongan, setiap baris kode yang ditulis, setiap algoritma yang dijalankan.
Dipandu oleh Kearifan dan Ilmu
Kita telah menyaksikan bagaimana kecerdasan---dari bisikan leluhur hingga algoritma raksasa---membentuk kita. Dalam narasi ini, saya ditemani oleh pemikiran-pemikiran cemerlang dari para filsuf dan ilmuwan yang telah membuka cakrawala pemahaman kita: Charles Darwin tentang adaptasi, E.H. Gombrich tentang sejarah sebagai narasi, Stephen Hawking tentang alam semesta dan singularitas, Klaus Schwab tentang Revolusi Industri Keempat, Steven Pinker tentang optimisme kemajuan manusia, Rutger Bregman tentang kebaikan dasar manusia, dan Yuval Noah Harari tentang informasi dan "fiksi kolektif" sebagai pendorong evolusi.