Di negeri +62 yang warganya hobi pakai filter Instagram "healing" tapi kenyataannya masih harus berjibaku dengan cicilan KPR dan harga beras naik-turun macam sinyal Wi-Fi, harapan adalah satu-satunya mata uang yang tak pernah inflasi.Â
Dan di tengah segala ketimpangan, keresahan, dan obrolan warung kopi tentang politik yang itu-itu lagi, muncul satu frasa yang belakangan kembali viral di TikTok dan story WhatsApp ibu-ibu: bloom where you are planted.
Tumbuhlah di mana kamu ditanam. Keliatannya seperti kutipan bijak yang pantas disulam jadi pajangan ruang tamu, tapi mari kita bedah dengan pisau bedah realitas: siapa yang menanam kita di sini? Kenapa tanahnya gersang, bukan taman Versailles?
Frasa ini, konon berasal dari pepatah Latin kuno dan dihidupkan kembali oleh motivator masa kini, sebenarnya punya makna yang lebih dalam dari sekadar ajakan untuk pasrah. Ia bukan mantra ajaib agar kita betah dengan pekerjaan yang tak manusiawi, gaji UMR tapi kerja 24/7, atau lingkungan sosial yang setiap hari menyemprot racun lewat sindiran halus nan tajam.Â
Justru sebaliknya, frasa ini adalah ajakan untuk melawan, dengan cara yang tenang namun radikal: tumbuh, berkembang, dan mekar... meski tanahnya penuh batu.
Karena kalau kita menunggu ditanam di tempat yang sempurna, percayalah, kita akan berakhir jadi benih di dalam kantong plastik, menua tanpa pernah tahu bagaimana rasanya menyentuh matahari.
Ada banyak anak muda yang merasa salah tempat. Lahir di kota kecil, tapi mimpinya besar. Terjebak di pekerjaan yang bukan passion, tapi kebutuhan memaksa. Atau lebih getir lagi, berjuang sendirian dalam keluarga yang tak pernah belajar bagaimana mencintai tanpa menghakimi. Mereka yang dianggap "biasa-biasa saja" oleh sistem sosial yang suka sekali mengukur nilai manusia dari IPK, jabatan, dan merek sepatu.
Tapi justru dari tanah yang keras, kita bisa menciptakan akar yang kuat. Seperti rumput liar yang tumbuh di celah trotoar, tak butuh disiram, apalagi diberi pujian. Ia hanya butuh tekad untuk hidup.
Mengapa penting untuk tetap mekar meski di tempat yang tampaknya salah? Karena jika semua orang menunggu tanah subur, takkan pernah ada taman di tempat gersang.Â
Kita membutuhkan para pemekar ini di mana-mana: di desa terpencil, di kantor pelayanan publik, di sekolah-sekolah pinggiran, bahkan di birokrasi yang terlalu nyaman dengan kata "nanti".