Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan Restoratif bagi Lansia dalam RUU KUHP

24 Maret 2018   23:00 Diperbarui: 25 Maret 2018   06:31 3299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak sebagai korban dan saksi. Dalam hal ini, Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 31 Juli 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).

Dengan perkembangan hukum pidana di dunia, yang juga berpengaruh pada sistem peradilan pidana di Indonesia yakni pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi) oleh sebab itu pidana sebagai ultimum remidium (upaya hukum yang terakhir) dalam perkara tindak pidana anak dengan tujuan perbaikan dan penurunan angka kejahatan pada anak yang berkonflik  dengan hukum serta perlindungan yang terbaik bagi anak. 

Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau "Doer-Victims" Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau "daad-dader straftecht". Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel (lebih jelas dapat dibaca  dalam Berita Utama MA, 8/13/2014, Ridwan Mansyur, Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak).

Diversi dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi untuk menjamin kepentingan yang terbaik bagi anak dan jika upaya diversi tidak dapat berjalan atau tidak ada kesepakan maka dilanjutkan ke proses persidangan sebagai upaya hukum yang paling terakhir sehingga wajib diupayakan adanya diversi dan apabila tidak dilakukan maka batal demi hukum dan aparat penegak hukum jatuhkan sanksi. Demikian pula dengan setelah terjadinya poses peradilan maka dapat dilakukan banding, kasasi sampai upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.

Dasar pemikiran pelaksanaan Diversi dengan prinsip keadilan restoratif dilaksanakan atas bahwa Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta. Kasus kasus ABH yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itu juga harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (ultimum remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak.

Dengan demikian limitatif pemidanaan terhadap anak sudah cukup established, bahkan dalam tataran juknis di kejaksaan pun sangat jelas mengenai diversi.

Batasan usia 73 tahun

Berbeda dengan limitatif penjatuhan pidana terhadap ADH. Limitatif penjatuhan pidana penjara bagi lansia,ini merupakan pembaruan dalam pemidanaan di Indonesia. Bahkan hingga saat ini,  kami belum memahami dengan pasti apa yang menjadi dasar penentuan usia 73 tahun ini. Karena memang untuk urusan pembatasan  usia pensiun(sebagai dasar awalpenyebutan seseorang mulaimemasuki usialanjut/ non produktif)  saja peraturan perundang-undangan di Indoesia itu tidak dapat memberikan kepastian. Hal ini juga yang terjadi dalam pembatasan usia anak dalam sebelum pemberlakukan UU Perlindungan anak dan SPAA.

Jika yang menjadi rujukan adalah usia lansia, makaperlu memeprhatikan bebrapa patokan usia lansia,seperti  batasan usia menurut badan kesehatan dunia (WHO) yang mengkategorikan lanjut usia menjadi 3 glongan yakni:

- Lanjut usia (elderly) : antara 60 sampai 74 tahun

- Lanjut usia tua (old) :antara 75 sampai 90 tahun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun