“Peradaban tidak lahir dari kemegahan pembangunan, melainkan dari kesetiaan merawat yang telah ada.”
Oleh Karnita
Ketika Warisan Tak Lagi Dikenal Sebagai Warisan
Pernahkah kita bertanya, mengapa sesuatu yang dulu dirayakan bersama kini dibiarkan layu tanpa upacara perpisahan? Pada Sabtu, 11 Oktober 2025, Pikiran Rakyat menerbitkan laporan bertajuk “Taman-taman Tematik Ridwan Kamil, Riwayatmu Kini” yang mengulas kondisi taman-taman tematik warisan masa kepemimpinan 2013–2018. Taman Vanda, Taman Jomblo, hingga Taman Superhero, sebagian kini tampak kusam, sunyi, bahkan nyaris terlupakan.
Berita itu seolah mengetuk memori kolektif kita tentang cara bangsa ini memperlakukan karya pendahulunya. Kita gemar bertepuk tangan saat sesuatu dibangun, tapi jarang menengok lagi saat ia mulai menua. Dalam lanskap politik kita, merawat kerap dianggap tidak heroik, seolah tidak pantas dijadikan warisan baru.
Saya tertarik menulis ini bukan karena taman itu milik seorang tokoh, tetapi karena taman-taman itu dulu milik kita semua. Kini, ketika warna catnya pudar dan huruf-hurufnya hilang satu demi satu, yang sebenarnya memudar bukan hanya catnya—melainkan rasa tanggung jawab kita sebagai warga kota.
1. Gagasan yang Indah, Tapi Umur yang Pendek
Taman-taman tematik Bandung dulu menjadi simbol kota yang terbuka, kreatif, dan manusiawi. Dirancang dengan sentuhan arsitektur dan cita rasa publik, taman-taman itu menghadirkan harapan bahwa ruang kota bisa menjadi ruang bahagia. Namun kini, sebagian besar menjadi saksi diam atas pergeseran prioritas dan perhatian.