4. Ruang Publik yang Kehilangan Jiwa
Ruang publik semestinya menjadi tempat warga saling mengenal dan merawat kebersamaan. Namun kini, banyak taman justru menjadi ruang yang anonim—tak berjiwa, tak bertuan. Ketika coretan muncul di dinding taman, sesungguhnya yang dicorat bukan tembok, tapi kesadaran sosial kita sendiri.
Dalam teori urban, taman kota adalah ruang rekreasi sekaligus ruang refleksi. Ia menunjukkan seberapa sehat relasi antara warga dan pemerintahnya. Ketika taman berubah menjadi tempat tidur gelandangan atau lapak pedagang sementara, yang gagal bukan tamannya, melainkan tata sosial di sekitarnya.
Kota yang sehat bukan kota dengan taman terbanyak, tetapi kota dengan taman yang paling dijaga. Keindahan sejati lahir bukan dari desain arsitektur, melainkan dari perilaku warganya.
5. Dari Bangga Membangun ke Tulus Merawat
Bangsa ini masih memuja pembangunan baru, seolah kemajuan hanya diukur dari jumlah proyek. Padahal, peradaban tumbuh bukan karena banyaknya yang dibangun, tetapi karena tekunnya yang dijaga. Taman-taman tematik Ridwan Kamil adalah cermin kecil: ide yang lahir dari cinta kota, tapi kini menunggu giliran untuk dicintai kembali.
Barangkali, kita memang belum selesai belajar menghargai warisan. Dalam politik, kita terbiasa menilai dari siapa yang membangun, bukan untuk siapa dibangun. Padahal, ruang publik semestinya berdiri di atas nama bersama.
Menjaga warisan pemimpin terdahulu bukan berarti tunduk pada sosoknya, tetapi menghormati nilai yang pernah ia tanamkan. Di situlah letak kedewasaan kita sebagai bangsa.
Merawat Warisan, Menjaga Peradaban
Kita bisa terus membangun gedung baru, tetapi tanpa budaya merawat, kota hanya menjadi museum proyek tanpa jiwa. Merawat bukan pekerjaan kecil—ia adalah wujud penghargaan terhadap masa lalu dan keyakinan akan masa depan.