Kerusakan fisik seringkali hanyalah gejala dari kerusakan budaya. Kita mudah bersemangat saat meresmikan sesuatu yang baru, tetapi enggan menoleh ketika keindahan itu butuh dirawat. Dalam bahasa sederhana, kita cepat jatuh cinta, tapi sulit bertahan dalam komitmen.
Barangkali inilah potret kecil bangsa yang lebih sibuk membangun daripada menjaga. Pembangunan terasa bergengsi, sementara perawatan dianggap pekerjaan rumah tangga yang tak perlu disebut dalam pidato.
2. Ego Politik dan Hasrat Menghapus Jejak Lama
Dalam dinamika politik kita, membangun yang baru sering dianggap lebih bergengsi daripada merawat yang lama. Setiap periode kepemimpinan ingin meninggalkan tanda tangan sendiri di atas kota, walau harus menghapus tanda tangan yang sudah ada. Padahal, kota yang baik tumbuh dari kesinambungan, bukan dari pergantian simbol.
Kecenderungan ini menumbuhkan budaya “reset”, bukan “continuity”. Warisan pendahulu mudah sekali kehilangan makna begitu nama pemimpinnya berganti. Seolah ada rasa canggung untuk mengakui bahwa sesuatu yang baik pernah lahir sebelum kita menjabat.
Ego seperti inilah yang pelan-pelan menggerus warisan kota. Bukan karena taman-taman itu tak layak, melainkan karena kita belum dewasa menerima bahwa sejarah tidak perlu diulang agar tetap berarti.
3. Antara Anggaran dan Rasa Kepemilikan
Pemerintah kota mengaku kesulitan menjaga taman-taman itu karena minimnya anggaran perawatan. Tahun depan, sekitar Rp40 miliar disiapkan untuk revitalisasi sejumlah taman tematik. Tetapi, tanpa rasa kepemilikan publik, dana sebesar apa pun akan habis sia-sia.
Kita bisa memperindah taman dengan lampu, Wi-Fi, dan CCTV, namun tidak ada teknologi yang sanggup menggantikan kesadaran moral. Vandalisme, pencurian, hingga tumpukan sampah yang berserakan hanyalah refleksi dari rasa kepemilikan yang pudar. Ruang publik menjadi “ruang siapa saja”, tapi anehnya, bukan “ruang kita bersama”.
Mungkin di sinilah tantangan terbesar kota modern: membangun keindahan fisik jauh lebih mudah daripada menumbuhkan etika publik yang menopangnya.