Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ketika Fasilitas Publik Bagai Kerakap, Hidup Segan Mati Tak Mau, di Mana Rasa Legasi Kita?

14 Oktober 2025   17:31 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:36 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak bermain di taman kota, fasilitas publik | FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY/KOMPAS

Kerusakan fisik seringkali hanyalah gejala dari kerusakan budaya. Kita mudah bersemangat saat meresmikan sesuatu yang baru, tetapi enggan menoleh ketika keindahan itu butuh dirawat. Dalam bahasa sederhana, kita cepat jatuh cinta, tapi sulit bertahan dalam komitmen.

Barangkali inilah potret kecil bangsa yang lebih sibuk membangun daripada menjaga. Pembangunan terasa bergengsi, sementara perawatan dianggap pekerjaan rumah tangga yang tak perlu disebut dalam pidato.

2. Ego Politik dan Hasrat Menghapus Jejak Lama

Suasana Taman Radio di Jalan Ir. H. Juanda, Tamansari, Kota Bandung. Foto: Pikiran Rakyat.com
Suasana Taman Radio di Jalan Ir. H. Juanda, Tamansari, Kota Bandung. Foto: Pikiran Rakyat.com

Dalam dinamika politik kita, membangun yang baru sering dianggap lebih bergengsi daripada merawat yang lama. Setiap periode kepemimpinan ingin meninggalkan tanda tangan sendiri di atas kota, walau harus menghapus tanda tangan yang sudah ada. Padahal, kota yang baik tumbuh dari kesinambungan, bukan dari pergantian simbol.

Kecenderungan ini menumbuhkan budaya “reset”, bukan “continuity”. Warisan pendahulu mudah sekali kehilangan makna begitu nama pemimpinnya berganti. Seolah ada rasa canggung untuk mengakui bahwa sesuatu yang baik pernah lahir sebelum kita menjabat.

Ego seperti inilah yang pelan-pelan menggerus warisan kota. Bukan karena taman-taman itu tak layak, melainkan karena kita belum dewasa menerima bahwa sejarah tidak perlu diulang agar tetap berarti.

3. Antara Anggaran dan Rasa Kepemilikan

Pemerintah kota mengaku kesulitan menjaga taman-taman itu karena minimnya anggaran perawatan. Tahun depan, sekitar Rp40 miliar disiapkan untuk revitalisasi sejumlah taman tematik. Tetapi, tanpa rasa kepemilikan publik, dana sebesar apa pun akan habis sia-sia.

Kita bisa memperindah taman dengan lampu, Wi-Fi, dan CCTV, namun tidak ada teknologi yang sanggup menggantikan kesadaran moral. Vandalisme, pencurian, hingga tumpukan sampah yang berserakan hanyalah refleksi dari rasa kepemilikan yang pudar. Ruang publik menjadi “ruang siapa saja”, tapi anehnya, bukan “ruang kita bersama”.

Mungkin di sinilah tantangan terbesar kota modern: membangun keindahan fisik jauh lebih mudah daripada menumbuhkan etika publik yang menopangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun