Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ketika Fasilitas Publik Bagai Kerakap, Hidup Segan Mati Tak Mau, di Mana Rasa Legasi Kita?

14 Oktober 2025   17:31 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:36 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Superhero di Jalan Anggrek Kota Bandung. Foto: Pikiran Rakyat.com

“Peradaban tidak lahir dari kemegahan pembangunan, melainkan dari kesetiaan merawat yang telah ada.”

Oleh Karnita

 

Ketika Warisan Tak Lagi Dikenal Sebagai Warisan

Pernahkah kita bertanya, mengapa sesuatu yang dulu dirayakan bersama kini dibiarkan layu tanpa upacara perpisahan? Pada Sabtu, 11 Oktober 2025, Pikiran Rakyat menerbitkan laporan bertajuk “Taman-taman Tematik Ridwan Kamil, Riwayatmu Kini” yang mengulas kondisi taman-taman tematik warisan masa kepemimpinan 2013–2018. Taman Vanda, Taman Jomblo, hingga Taman Superhero, sebagian kini tampak kusam, sunyi, bahkan nyaris terlupakan.

Taman Superhero di Jalan Anggrek Kota Bandung. Foto: Pikiran Rakyat.com
Taman Superhero di Jalan Anggrek Kota Bandung. Foto: Pikiran Rakyat.com

Berita itu seolah mengetuk memori kolektif kita tentang cara bangsa ini memperlakukan karya pendahulunya. Kita gemar bertepuk tangan saat sesuatu dibangun, tapi jarang menengok lagi saat ia mulai menua. Dalam lanskap politik kita, merawat kerap dianggap tidak heroik, seolah tidak pantas dijadikan warisan baru.

Saya tertarik menulis ini bukan karena taman itu milik seorang tokoh, tetapi karena taman-taman itu dulu milik kita semua. Kini, ketika warna catnya pudar dan huruf-hurufnya hilang satu demi satu, yang sebenarnya memudar bukan hanya catnya—melainkan rasa tanggung jawab kita sebagai warga kota.

1. Gagasan yang Indah, Tapi Umur yang Pendek

Taman-taman tematik Bandung dulu menjadi simbol kota yang terbuka, kreatif, dan manusiawi. Dirancang dengan sentuhan arsitektur dan cita rasa publik, taman-taman itu menghadirkan harapan bahwa ruang kota bisa menjadi ruang bahagia. Namun kini, sebagian besar menjadi saksi diam atas pergeseran prioritas dan perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun