BPMU Diganti Beasiswa: Efisiensi yang Menggerus Nurani Pendidikan
“Efisiensi yang meniadakan keadilan, pada akhirnya bukanlah kebijakan, melainkan penghematan atas harapan.”
Oleh Karnita
Antara Janji Efisiensi dan Kenyataan Lapangan
Apakah setiap kebijakan efisiensi selalu bermuara pada keadilan? Pertanyaan ini mengemuka usai pemberitaan Pikiran Rakyat (7 Oktober 2025) bertajuk “Rencana Gubernur Jawa Barat Mengganti BPMU Menjadi Beasiswa Makin Dapat Penolakan Sekolah Swasta di KBB.” Isu tersebut menyeruak dari keresahan sekolah swasta di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang menilai kebijakan itu berpotensi meruntuhkan fondasi kesejahteraan guru honorer dan kualitas pendidikan.
Konteks ini menarik perhatian publik karena menyentuh akar persoalan pendidikan kita: siapa yang sesungguhnya menopang keberlangsungan sekolah di lapisan menengah ke bawah? Kebijakan mengganti Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dengan beasiswa, di atas kertas tampak ideal dan efisien, tetapi di lapangan ia menimbulkan ketimpangan baru—terutama bagi sekolah swasta kecil yang menjadi sandaran ribuan keluarga pekerja.
Penulis menaruh perhatian pada isu ini bukan semata karena dinamika politik anggaran, tetapi karena di dalamnya tersimpan potret nyata tentang bagaimana guru honorer menjadi korban dari tafsir efisiensi fiskal. Ketika beasiswa diarahkan hanya kepada siswa, siapa yang akan menanggung nasib guru yang selama ini menghidupi sistem pendidikan dari pinggiran? Di sinilah urgensi pembahasan ini: efisiensi harus tetap berpihak kepada kemanusiaan.
Ketika Beasiswa Menggeser Peran Bantuan Struktural
Program BPMU sejatinya lahir sebagai bentuk keberpihakan negara kepada sekolah-sekolah swasta yang selama ini menanggung beban operasional tanpa sokongan cukup. Dengan dihapusnya BPMU dan diganti beasiswa, tumpuan bantuan dialihkan dari lembaga ke individu siswa. Dalam konsep manajemen pendidikan, pergeseran ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara bantuan personal dan kebutuhan sistemik.
Beasiswa memang membantu biaya belajar siswa, namun tidak menjamin keberlangsungan layanan pendidikan di sekolah swasta. Tanpa dukungan bagi guru dan lembaga, sekolah akan menghadapi kesulitan membayar honor dan menjalankan kegiatan belajar-mengajar. Efisiensi anggaran yang dimaksud justru berpotensi menjadi bentuk “pemusatan beban” pada lembaga yang rentan.