Dari sisi ekstrinsik, nilai sosial dan kemanusiaan menjadi pilar utama. Tohari menyuarakan kelompok yang nyaris tak bersuara—para petani, pencari kayu, buruh, dan perantau miskin. Cerpen-cerpennya menegaskan bahwa sastra bisa menjadi ruang moral bagi bangsa.
Namun, sebagian pembaca modern mungkin menilai ritme ceritanya terlalu lambat atau terlalu simbolik, dengan akhir yang tidak menawarkan solusi konkret. Tapi di situlah keunggulannya: Tohari tidak memberi jawaban, ia memberi kesadaran. Ia menulis agar pembaca berhenti sejenak—memandang, merenung, lalu merasa.
Penutup
Tiga cerpen ini adalah wajah manusia yang berbeda namun sejatinya satu: manusia yang berjuang di antara lapar, kuasa, dan kota. Ahmad Tohari tidak memotret mereka sebagai korban, tetapi sebagai manusia yang tetap memiliki martabat, bahkan di tengah keterpurukan.
Seperti Suing yang mati karena singkong, Cepon yang bertahan dengan kedipan mata terakhirnya, dan sahabat yang tenggelam di Kali Serayu—mereka adalah simbol keteguhan manusia dalam menghadapi nasib. Ahmad Tohari menulis bukan tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang tetap bernilai, sekalipun dalam luka.
Daftar Pustaka
Tohari, Ahmad. Senyum Karyamin. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Tohari, Ahmad. Senyum Karyamin (Cetakan Ulang). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI