Lapar, Kuasa, dan Kota: Tiga Luka Kemanusiaan dalam Senyum Karyamin (2)
“Kadang yang membuat manusia tumbang bukan kemiskinan, tapi kehilangan kasih di tengah perjuangan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apa jadinya ketika lapar menjadi racun, kuasa kehilangan makna, dan kota menelan nurani? Pertanyaan ini seakan menggema dalam setiap halaman karya Ahmad Tohari, terutama dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin. Di sana, kehidupan rakyat kecil bukan sekadar latar, melainkan cermin getir dari realitas sosial yang masih berulang hingga kini.
Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Firdaus (1989) dan kemudian dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama (2018), kumpulan ini memantulkan wajah Indonesia: pedesaan yang memudar, kemiskinan yang tak usai, dan kota besar yang makin asing terhadap manusia. Dalam kesederhanaannya, Tohari menulis bukan untuk mengeluh, melainkan untuk mengingatkan kita pada nilai-nilai yang mulai tergerus zaman.
Tiga cerpen—Surabanglus, Tinggal Matanya Berkedip-kedip, dan Ah, Jakarta!—menjadi panorama lengkap tentang manusia yang berjuang di tiga medan berbeda: perut, kuasa, dan peradaban. Ketiganya sama-sama berangkat dari kenyataan pahit, namun berakhir pada kesadaran yang halus: bahwa menjadi manusia utuh berarti tetap berbelas kasih, sekalipun dunia tak memberi ruang untuk itu.
1. Surabanglus: Ketika Lapar Menghapus Batas Kemanusiaan
Cerpen Surabanglus mengisahkan dua sahabat, Suing dan Kimin, yang berlari dari kejaran polisi kehutanan setelah mencuri kayu bakar. Lapar menjerat mereka hingga memakan umbi yang ternyata beracun. Suing, dengan tubuh yang lemah, tetap mencoba menipu rasa lapar, dan akhirnya meregang nyawa sebelum pertolongan datang.
Cerita ini adalah lukisan realisme sosial yang lirih namun menggigit. Ahmad Tohari menunjukkan bahwa kelaparan bukan hanya soal perut kosong, tetapi juga keadaan ketika manusia kehilangan pilihan. Dalam masyarakat yang timpang, bahkan tindakan paling sederhana bisa menjadi tragedi.
Relevansinya kini begitu nyata. Ketika harga pangan naik, ketika kemiskinan membuat orang memilih jalan yang salah, Surabanglus terasa seperti peringatan dari masa lalu. Tohari mengingatkan: kemiskinan bukan kesalahan moral, melainkan kegagalan sosial. Lapar yang membuat manusia nekat bukan karena jahat, tapi karena hidup tidak memberi alternatif.
2. Tinggal Matanya Berkedip-kedip: Kuasa yang Kehilangan Jiwa
Dalam cerpen ini, tokoh Musgepuk adalah simbol manusia yang terlena oleh kekuasaan. Ia dikenal sebagai pawang keras yang bisa menaklukkan binatang apa pun, termasuk kerbau Cepon. Namun ketika Cepon berhenti melawan dan hanya matanya yang berkedip-kedip, Musgepuk kehilangan makna dari keperkasaannya.
Ahmad Tohari menulis peristiwa sederhana itu sebagai alegori tentang kekuasaan tanpa kasih. Di banyak ruang sosial, kekuasaan sering dipertontonkan lewat kekerasan—baik fisik maupun simbolik. Cepon menjadi cermin bagi manusia: ketika empati mati, kuasa menjadi sia-sia.
Cerita ini sangat relevan di tengah budaya kekerasan yang masih hidup di banyak lini, dari pendidikan hingga politik. Refleksinya tegas namun lembut: kekuatan sejati bukanlah menundukkan, tetapi memahami. Cepon mengajarkan bahwa pasrah bukan kalah, dan bahwa kemanusiaan justru hidup di tengah keheningan terakhir sebelum luka menjadi doa.
3. Ah, Jakarta!: Kota yang Menelan Nurani
Cerpen Ah, Jakarta! membuka lembar urban yang muram. Seorang pria desa kedatangan sahabat lamanya—kini buronan—yang datang dengan luka di kaki dan penyesalan di hati. Malam itu mereka berbincang tentang hidup, tentang kota yang menjanjikan harapan tapi menghadirkan kehancuran. Keesokan paginya, sang sahabat ditemukan tewas di sungai.
Jakarta dalam kisah ini adalah metafora dari modernitas yang kehilangan empati. Ia adalah kota yang berkilau di luar, tapi gelap di dalam. Ahmad Tohari menulis kota bukan sebagai ruang geografis, melainkan ruang moral yang kosong. Di balik gedung dan gemerlapnya, ada jiwa-jiwa yang tenggelam seperti mayat di Kali Serayu.
Dalam konteks kini, Ah, Jakarta! terasa seperti refleksi tajam terhadap krisis kemanusiaan di kota-kota besar: urbanisasi, kriminalitas, dan alienasi sosial. Tohari mengajak pembaca merenung: berapa banyak manusia yang kehilangan dirinya demi bertahan hidup di kota? Sebuah pertanyaan yang masih menuntut jawaban.
Keunggulan dan Kelemahan
Secara intrinsik, kekuatan utama karya Ahmad Tohari ada pada kemampuan memadukan realisme sosial dengan lirisisme moral. Ia menulis kemiskinan tanpa eksotisme, menulis penderitaan tanpa sensasi. Gaya bahasanya halus, simbolis, dan penuh empati. Dialognya hidup, narasinya mengalir, dan pengakhirannya sering memancing renungan panjang.
Dari sisi ekstrinsik, nilai sosial dan kemanusiaan menjadi pilar utama. Tohari menyuarakan kelompok yang nyaris tak bersuara—para petani, pencari kayu, buruh, dan perantau miskin. Cerpen-cerpennya menegaskan bahwa sastra bisa menjadi ruang moral bagi bangsa.
Namun, sebagian pembaca modern mungkin menilai ritme ceritanya terlalu lambat atau terlalu simbolik, dengan akhir yang tidak menawarkan solusi konkret. Tapi di situlah keunggulannya: Tohari tidak memberi jawaban, ia memberi kesadaran. Ia menulis agar pembaca berhenti sejenak—memandang, merenung, lalu merasa.
Penutup
Tiga cerpen ini adalah wajah manusia yang berbeda namun sejatinya satu: manusia yang berjuang di antara lapar, kuasa, dan kota. Ahmad Tohari tidak memotret mereka sebagai korban, tetapi sebagai manusia yang tetap memiliki martabat, bahkan di tengah keterpurukan.
Seperti Suing yang mati karena singkong, Cepon yang bertahan dengan kedipan mata terakhirnya, dan sahabat yang tenggelam di Kali Serayu—mereka adalah simbol keteguhan manusia dalam menghadapi nasib. Ahmad Tohari menulis bukan tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang tetap bernilai, sekalipun dalam luka.
Daftar Pustaka
Tohari, Ahmad. Senyum Karyamin. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Tohari, Ahmad. Senyum Karyamin (Cetakan Ulang). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI