2. Tinggal Matanya Berkedip-kedip: Kuasa yang Kehilangan Jiwa
Dalam cerpen ini, tokoh Musgepuk adalah simbol manusia yang terlena oleh kekuasaan. Ia dikenal sebagai pawang keras yang bisa menaklukkan binatang apa pun, termasuk kerbau Cepon. Namun ketika Cepon berhenti melawan dan hanya matanya yang berkedip-kedip, Musgepuk kehilangan makna dari keperkasaannya.
Ahmad Tohari menulis peristiwa sederhana itu sebagai alegori tentang kekuasaan tanpa kasih. Di banyak ruang sosial, kekuasaan sering dipertontonkan lewat kekerasan—baik fisik maupun simbolik. Cepon menjadi cermin bagi manusia: ketika empati mati, kuasa menjadi sia-sia.
Cerita ini sangat relevan di tengah budaya kekerasan yang masih hidup di banyak lini, dari pendidikan hingga politik. Refleksinya tegas namun lembut: kekuatan sejati bukanlah menundukkan, tetapi memahami. Cepon mengajarkan bahwa pasrah bukan kalah, dan bahwa kemanusiaan justru hidup di tengah keheningan terakhir sebelum luka menjadi doa.
3. Ah, Jakarta!: Kota yang Menelan Nurani
Cerpen Ah, Jakarta! membuka lembar urban yang muram. Seorang pria desa kedatangan sahabat lamanya—kini buronan—yang datang dengan luka di kaki dan penyesalan di hati. Malam itu mereka berbincang tentang hidup, tentang kota yang menjanjikan harapan tapi menghadirkan kehancuran. Keesokan paginya, sang sahabat ditemukan tewas di sungai.
Jakarta dalam kisah ini adalah metafora dari modernitas yang kehilangan empati. Ia adalah kota yang berkilau di luar, tapi gelap di dalam. Ahmad Tohari menulis kota bukan sebagai ruang geografis, melainkan ruang moral yang kosong. Di balik gedung dan gemerlapnya, ada jiwa-jiwa yang tenggelam seperti mayat di Kali Serayu.
Dalam konteks kini, Ah, Jakarta! terasa seperti refleksi tajam terhadap krisis kemanusiaan di kota-kota besar: urbanisasi, kriminalitas, dan alienasi sosial. Tohari mengajak pembaca merenung: berapa banyak manusia yang kehilangan dirinya demi bertahan hidup di kota? Sebuah pertanyaan yang masih menuntut jawaban.
Keunggulan dan Kelemahan
Secara intrinsik, kekuatan utama karya Ahmad Tohari ada pada kemampuan memadukan realisme sosial dengan lirisisme moral. Ia menulis kemiskinan tanpa eksotisme, menulis penderitaan tanpa sensasi. Gaya bahasanya halus, simbolis, dan penuh empati. Dialognya hidup, narasinya mengalir, dan pengakhirannya sering memancing renungan panjang.