Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Lapar, Kuasa, dan Kota: Tiga Luka dalam Senyum Karyamin (2)

11 Oktober 2025   15:40 Diperbarui: 11 Oktober 2025   15:40 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lapar, Kuasa, dan Kota: Tiga Luka Kemanusiaan  dalam Senyum Karyamin (2)
“Kadang yang membuat manusia tumbang bukan kemiskinan, tapi kehilangan kasih di tengah perjuangan.”

Oleh Karnita 

Pendahuluan

Apa jadinya ketika lapar menjadi racun, kuasa kehilangan makna, dan kota menelan nurani? Pertanyaan ini seakan menggema dalam setiap halaman karya Ahmad Tohari, terutama dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin. Di sana, kehidupan rakyat kecil bukan sekadar latar, melainkan cermin getir dari realitas sosial yang masih berulang hingga kini.

Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Firdaus (1989) dan kemudian dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama (2018), kumpulan ini memantulkan wajah Indonesia: pedesaan yang memudar, kemiskinan yang tak usai, dan kota besar yang makin asing terhadap manusia. Dalam kesederhanaannya, Tohari menulis bukan untuk mengeluh, melainkan untuk mengingatkan kita pada nilai-nilai yang mulai tergerus zaman.

Tiga cerpen—Surabanglus, Tinggal Matanya Berkedip-kedip, dan Ah, Jakarta!—menjadi panorama lengkap tentang manusia yang berjuang di tiga medan berbeda: perut, kuasa, dan peradaban. Ketiganya sama-sama berangkat dari kenyataan pahit, namun berakhir pada kesadaran yang halus: bahwa menjadi manusia utuh berarti tetap berbelas kasih, sekalipun dunia tak memberi ruang untuk itu.

1. Surabanglus: Ketika Lapar Menghapus Batas Kemanusiaan

Cerpen Surabanglus mengisahkan dua sahabat, Suing dan Kimin, yang berlari dari kejaran polisi kehutanan setelah mencuri kayu bakar. Lapar menjerat mereka hingga memakan umbi yang ternyata beracun. Suing, dengan tubuh yang lemah, tetap mencoba menipu rasa lapar, dan akhirnya meregang nyawa sebelum pertolongan datang.

Cerita ini adalah lukisan realisme sosial yang lirih namun menggigit. Ahmad Tohari menunjukkan bahwa kelaparan bukan hanya soal perut kosong, tetapi juga keadaan ketika manusia kehilangan pilihan. Dalam masyarakat yang timpang, bahkan tindakan paling sederhana bisa menjadi tragedi.

Relevansinya kini begitu nyata. Ketika harga pangan naik, ketika kemiskinan membuat orang memilih jalan yang salah, Surabanglus terasa seperti peringatan dari masa lalu. Tohari mengingatkan: kemiskinan bukan kesalahan moral, melainkan kegagalan sosial. Lapar yang membuat manusia nekat bukan karena jahat, tapi karena hidup tidak memberi alternatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun