Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

BBM Langka, Mobil Listrik, dan Gugatan Seorang Warga

8 Oktober 2025   16:36 Diperbarui: 8 Oktober 2025   16:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggugat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Tati Suryati saat memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2025).(Shela Octavia)

Peralihan Tati ke mobil listrik dapat dibaca sebagai bentuk kesadaran ekologis baru di tingkat individu. Ia menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ketidaknyamanan kecil. Ketika pemerintah masih sibuk memperdebatkan peta jalan transisi energi, sebagian warga telah bergerak diam-diam—membeli mobil listrik, memasang panel surya, atau mengurangi konsumsi BBM.

Namun, kesadaran ini belum tentu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Mobil listrik masih mahal, infrastruktur pengisian terbatas, dan kebijakan insentif belum merata. Jika negara gagal menciptakan ekosistem transisi yang inklusif, maka transformasi energi akan menjadi proyek elitis—bukan gerakan kolektif. Di sinilah pentingnya kebijakan yang berpihak dan berkeadilan sosial.

Krisis energi hari ini seharusnya menjadi momentum memperkuat pendidikan energi di ruang publik. Pemerintah perlu menjadikan kasus seperti Tati sebagai bahan refleksi: bahwa rakyat sudah siap berubah, tinggal apakah negara mau memfasilitasi atau justru menghambat. Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal keberanian politik.

5. Konsumen, Negara, dan Etika Energi yang Terlupakan

Shell mengumumkan seluruh stok bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin tak lagi tersedia alias habis. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Shell mengumumkan seluruh stok bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin tak lagi tersedia alias habis. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)

Kasus ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah energi diperlakukan sebagai hak publik atau komoditas pasar? Ketika BBM langka dan listrik tidak merata, ketimpangan akses energi menjadi cermin ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, negara bukan sekadar penyedia, melainkan penjaga moral dari keadilan energi.

Tati mungkin hanya satu nama, tapi ia mengingatkan bahwa konsumen juga memiliki agensi dalam sistem energi nasional. Di tengah narasi besar tentang kemandirian energi, suara warga seperti Tati menunjukkan sisi lain: bahwa kebijakan yang tidak berpihak bisa memaksa rakyat mencari jalannya sendiri. Dan dari situlah muncul etika baru dalam relasi antara negara dan rakyat.

Mungkin inilah ironi paling tajam: gugatan perdata yang nilainya kecil justru membangkitkan kesadaran publik tentang nilai besar—hak untuk mendapatkan energi yang adil dan berkelanjutan. “Negara yang baik,” tulis Mahatma Gandhi, “diukur dari caranya memperlakukan rakyat kecil.” Dan Tati telah menunjukkan, bahwa gugatan kecil pun bisa mengguncang kesadaran besar.

Penutup: Ketika Rakyat Menyalakan Energi Kesadaran

Pada akhirnya, kisah ini bukan sekadar soal kelangkaan BBM, tetapi tentang bagaimana warga menyalakan kesadaran baru. Tati Suryati telah mengajarkan bahwa gugatan bisa menjadi bentuk cinta pada negeri—cara halus untuk mengingatkan bahwa hak energi adalah bagian dari hak hidup. Dalam ruang peradilan yang dingin, ia menyalakan percikan kecil: energi kesadaran.

“Kadang perubahan tidak datang dari kekuasaan, melainkan dari keberanian kecil untuk berkata: ini tidak adil.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun