Namun, peralihan ini juga menyimpan ironi. Di satu sisi, warga seperti Tati telah lebih cepat dari pemerintah dalam mengimplementasikan transisi energi bersih. Di sisi lain, langkahnya justru lahir dari kekecewaan terhadap kebijakan negara. Ironi ini menegaskan bahwa krisis bisa menjadi katalis perubahan, tetapi perubahan tanpa keadilan akan selalu meninggalkan luka sosial.
2. Ketika Gugatan Menjadi Bahasa Baru Keadilan Energi
Gugatan Tati terhadap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia adalah bentuk partisipasi sipil yang jarang terjadi. Dengan dasar Pasal 12 ayat (2) Perpres 191/2014, ia menilai pemerintah melanggar hak badan usaha swasta untuk melakukan impor minyak bumi. Di sini, hukum berperan bukan hanya sebagai alat sanksi, melainkan juga sebagai ruang artikulasi keadilan bagi warga yang terdampak kebijakan.
Kasus ini membuka diskusi publik tentang transparansi dan akuntabilitas kebijakan energi nasional. Selama ini, monopoli pasokan oleh Pertamina sering dianggap wajar karena alasan stabilitas nasional. Namun, ketika keputusan administratif berdampak pada hilangnya hak konsumen untuk memilih, maka yang dipertanyakan bukan sekadar harga BBM, melainkan keadilan distribusi energi itu sendiri.
Dengan menggugat negara, Tati tidak hanya menuntut ganti rugi Rp1,1 juta, tetapi juga mempersoalkan logika kebijakan publik yang menutup ruang kompetisi sehat. Ia mewakili suara banyak warga yang selama ini diam, tetapi merasa dirugikan oleh sistem yang tidak berpihak pada publik. Dalam konteks ini, gugatan menjadi bahasa baru dari demokrasi energi—bahwa rakyat berhak tahu dan berhak menuntut.
3. BBM dan Monopoli: Dilema Negara di Persimpangan Energi
Pemerintah berada dalam posisi sulit: di satu sisi ingin mengendalikan harga dan pasokan BBM, di sisi lain harus memberi ruang bagi sektor swasta. Pernyataan Bahlil bahwa “penjualan BBM impor hanya melalui kolaborasi dengan Pertamina” mempertegas arah kebijakan yang protektif. Tapi perlindungan yang berlebihan sering berujung pada penutupan akses publik terhadap alternatif.
Kebijakan semacam ini mengandung risiko jangka panjang terhadap iklim investasi dan inovasi energi. Ketika pemerintah terlalu dominan, pasar kehilangan dinamika yang sehat, dan publik kehilangan pilihan yang adil. Akibatnya, konsumen—seperti Tati—menjadi korban paling nyata dari ketidakseimbangan antara kepentingan politik dan ekonomi energi.
Dalam konteks global, banyak negara mulai membangun model kemitraan energi yang terbuka, seperti di Eropa, di mana perusahaan swasta diberi kuota impor dengan pengawasan ketat. Indonesia perlu belajar dari model semacam ini, agar kebijakan energi tak terjebak pada sentralisasi kekuasaan yang justru menghambat akselerasi menuju energi bersih.
4. Transisi Energi: Dari Krisis ke Kesadaran Kolektif