Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Insenerator Bandung, Solusi Cepat yang Menjadi Masalah Baru

7 Oktober 2025   17:43 Diperbarui: 7 Oktober 2025   17:43 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegagalan insenerator bukan semata kegagalan alat, melainkan kegagalan kebijakan dalam membaca konteks. Kebijakan publik yang baik mestinya berbasis data, bukan sekadar target administratif. Dalam hal ini, Bandung perlu meninjau ulang paradigma pengelolaan sampahnya dengan pendekatan zero waste dan penguatan komunitas lokal.

Kritik ini membuka ruang refleksi tentang gaya manajemen perkotaan: apakah kita terlalu cepat percaya pada mesin, atau terlalu lambat belajar dari kesalahan?

Seorang warga Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Ade Sugiman, menciptakan insinerator portable skala rumahan. Dewiyatini
Seorang warga Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Ade Sugiman, menciptakan insinerator portable skala rumahan. Dewiyatini

5. Menuju Ekologi Partisipatif

Pengelolaan sampah bukan semata urusan pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif. Bandung sebenarnya memiliki potensi besar melalui gerakan masyarakat sipil dan KSM seperti Patrakomala. Namun, tanpa dukungan kebijakan yang berpihak, inisiatif ini mudah kehilangan napas.

Solusi masa depan terletak pada model ekologi partisipatif—sinergi antara kebijakan kota, inovasi komunitas, dan edukasi publik. Program zero waste community, pemilahan rumah tangga, serta pelatihan daur ulang bisa menjadi alternatif nyata.

Bandung bisa belajar dari kota lain di dunia yang berhasil beralih dari insenerator menuju ekonomi sirkular. Di sinilah nilai edukatif dan moralnya: membangun kota berkelanjutan berarti membangun kesadaran kolektif, bukan sekadar membeli alat pembakar sampah.

Menyelamatkan Kota, Menyelamatkan Diri

“Krisis lingkungan bukan karena kurang teknologi, tetapi kurang empati.” — Vandana Shiva

Kini jelas, insenerator bukan jawaban final. Ia hanya gejala dari kebijakan yang lebih besar: ketergantungan kita pada solusi instan. Bandung, kota yang kaya kreativitas, seharusnya mampu menunjukkan jalan baru—mengubah krisis sampah menjadi momentum inovasi ekologis yang berpihak pada kehidupan.

Sebagaimana pepatah Sunda, leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak—ketika alam rusak, manusia pun celaka. Mungkin kini saatnya pemerintah, peneliti, dan warga duduk bersama bukan untuk membakar, tapi untuk membangun kesadaran baru: bumi bukan tungku, melainkan rumah yang harus dijaga dari bara keserakahan kita sendiri. Wallahu a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun