Refleksinya sederhana namun tajam: bukan alatnya yang salah, melainkan cara berpikir kita yang ingin cepat selesai. Sampah bukan sekadar benda yang perlu dibakar, tapi simbol dari gaya hidup dan sistem konsumsi yang perlu diperbaiki.
2. Kekurangan Tenaga, Kelebihan Masalah
Masalah mendasar lain datang dari sisi manusia: kurangnya petugas di lapangan. Hanya delapan orang menangani enam ton sampah per hari di TPS3R Patrakomala—angka yang jauh dari ideal. Tanpa pemilahan ketat antara sampah organik dan non-organik, hasil pembakaran menjadi tidak efisien, bahkan berisiko menghasilkan asap hitam dan residu plastik.
Ketimpangan antara beban kerja dan kapasitas petugas ini mencerminkan lemahnya desain sistemik. Sebuah teknologi mahal tidak akan berarti jika unsur manusianya diabaikan. Seperti diungkapkan Dadang Agus Sanjaya, sistem yang terbebani justru memperlambat kerja pengelolaan.
Kritik ini menohok kebijakan publik yang sering kali fokus pada mesin, bukan manusia yang mengoperasikannya. Padahal, keberhasilan pengelolaan sampah bergantung pada harmoni antara infrastruktur, SDM, dan kebijakan yang visioner.
3. Waspada Dioksin, Racun yang Tak Terlihat
Bahaya utama dari pembakaran sampah adalah dioksin—senyawa beracun yang sulit terurai dan bisa mengendap dalam tubuh manusia. Nexus3 melaporkan bahwa fly ash dan bottom ash dari insenerator Bandung masih mengandung plastik serta bahan berbahaya lainnya. Artinya, proses pembakaran belum tuntas secara kimiawi.
Efek dioksin tak tampak dalam hitungan hari. Ia bekerja diam-diam, mengancam sistem kekebalan tubuh dan berpotensi memicu kanker. Dalam jangka panjang, racun ini dapat mencemari udara, air, dan tanah, memengaruhi generasi yang belum lahir.
Kenyataan ini membuat kita harus berhenti sejenak dari narasi “cepat beres.” Pengelolaan sampah tidak boleh hanya berorientasi pada hasil visual—tumpukan hilang—tapi juga pada dampak tak kasatmata yang ditinggalkan di atmosfer dan paru-paru masyarakat kota.
4. Kebijakan yang Gagal Menyerap Realitas
Ambisi Pemerintah Kota Bandung untuk mengoperasikan 30 insenerator jelas berani. Namun, seperti dikritisi Nexus3, langkah ini justru mengabaikan realitas lapangan: keterbatasan dana, tenaga, dan kesiapan teknis. Kebijakan yang memaksakan replikasi tanpa evaluasi berisiko memperluas kesalahan sistemik.