Canting: Saat Tradisi Ditinggalkan, Apa yang Tersisa?
"Tradisi hanya hidup bila diwariskan dengan hati, bukan sekadar simbol."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah mungkin tradisi bertahan di tengah derasnya arus perubahan? Pertanyaan ini seakan bergaung ketika kita memasuki dunia Canting (1986), novel legendaris karya Arswendo Atmowiloto. Dengan kisah cair, penuh detail kehidupan wong cilik dan priyayi, Arswendo menghadirkan konflik yang terasa begitu dekat: benturan antara warisan budaya dan modernitas.
Novel ini diterbitkan oleh Gramedia, dengan kekuatan narasi yang membumikan persoalan batik, keluarga, dan pergulatan nilai. Arswendo sendiri dikenal sebagai penulis yang lihai menyulam kisah sederhana menjadi refleksi sosial yang tajam. Tidak heran, Canting sering disebut sebagai salah satu karya puncaknya yang mempertemukan estetika sastra dengan kritik sosial.
Dalam konteks kini, Canting tetap relevan. Ketika kita menyaksikan batik diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, muncul pertanyaan: apakah generasi muda masih memandangnya sekadar kain, atau simbol kebangsaan yang penuh makna? Novel ini menyodorkan jawaban yang getir namun jujur.
Sinopsis
Cerita bermula dari Tuginem, seorang buruh batik yang dinikahi oleh Raden Ngabehi Sastrokusumo (Pak Bei), seorang bangsawan priyayi. Pernikahan mereka menyatukan dua dunia: priyayi yang penuh tata krama dan wong cilik yang hidup sederhana. Bagi Tuginem, pernikahan adalah pengabdian sekaligus takdir, meski ia tetap setia bekerja sebagai pembatik.
Pak Bei menyadari bahwa keputusannya menentang adat keraton. Namun, ia percaya pada nilai luhur yang harus dipelihara melalui keluarga. Dari pernikahan itu lahirlah anak-anak yang kelak menjadi wajah generasi baru: Wahyu, Ismaya, dan Ni. Tuginem tetap menjadi pusat spiritual rumah tangga, penjaga harmoni di tengah berbagai perbedaan.