Secara hukum, bangunan di sempadan Situ Ciburuy dikategorikan ilegal karena berdiri di atas lahan negara. Pemerintah sah untuk menertibkannya demi kepentingan publik. Namun, di balik legalitas, ada legitimasi moral yang patut dipertanyakan: apakah adil meniadakan kompensasi bagi warga yang telah bertahun-tahun tinggal di sana?
Kritiknya, hukum terlalu kaku bila tidak diimbangi kebijakan sosial. Legalitas semata bisa berubah menjadi ketidakadilan sosial yang dilegitimasi oleh aturan. Ketika rumah dihancurkan tanpa kompensasi, rasa keadilan publik pun ikut terkikis.
Refleksinya, keadilan substantif semestinya melengkapi keadilan prosedural. Pemerintah memang harus menjaga danau, tetapi juga wajib menjaga martabat manusia. Hukum tanpa nurani hanya akan melahirkan luka sosial yang dalam.
5. Menata Ruang, Menata Hati Bangsa
Situ Ciburuy adalah gambaran kecil dari tantangan besar pembangunan di Indonesia: bagaimana menata ruang tanpa mengabaikan hati rakyat. Proyek Rp34,7 miliar ini menargetkan pemulihan luas danau hingga 25 hektare, namun dampaknya meluas pada ratusan keluarga. Menata ruang tanpa menata hati hanya akan meninggalkan ruang kosong yang penuh trauma.
Kritiknya, pemerintah sering kali lebih fokus pada capaian fisik ketimbang dampak sosial. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan aspek sosial, budaya, dan lingkungan. Tanpa itu, revitalisasi hanya menjadi proyek tanpa jiwa.
Refleksinya, pembangunan seharusnya menjadi harmoni antara ruang dan manusia. Situ Ciburuy dapat menjadi pelajaran penting: jangan sampai pembangunan hanya meninggalkan beton indah tetapi hati masyarakat hancur.
Penutup
Peristiwa di Situ Ciburuy menunjukkan bahwa pembangunan fisik dan kemanusiaan tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Revitalisasi memang penting untuk masa depan lingkungan, tetapi ia tidak boleh menafikan masa kini kehidupan warga. "Negara hadir bukan hanya untuk menata ruang, tetapi juga untuk menjaga hati rakyatnya."
Maka, harapan ke depan, setiap proyek revitalisasi harus dilandasi prinsip humanisme dan keadilan. Solusi transisi, kompensasi wajar, dan pelibatan warga sejak awal harus menjadi standar, bukan pengecualian. Sebab, pembangunan sejati adalah yang membuat ruang indah sekaligus hati tenang. Wallahu a'lam.Â