Benarkah Damai PAPS Menyelamatkan Sekolah Swasta Jabar?
"Damai sejati bukanlah akhir pertentangan, melainkan awal dari harapan baru yang diuji oleh waktu."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah mungkin sebuah perjanjian damai benar-benar menyelamatkan masa depan sekolah swasta? Pertanyaan ini menggema usai perselisihan delapan organisasi sekolah swasta dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berakhir damai di PTUN Bandung, 28 Agustus 2025. Berita berjudul "Perselisihan Sekolah Swasta dan Dedi Mulyadi Berakhir Damai, Tuntutan Dipenuhi" yang tayang di Pikiran-Rakyat.com, menjadi sorotan publik.
Mengapa perjanjian itu dianggap penting, dan apa artinya bagi masa depan pendidikan Jawa Barat? Berita tersebut menggambarkan langkah strategis: tuntutan sekolah swasta diakomodasi, sementara pemerintah menegaskan komitmen melibatkan swasta dalam program PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah). Di tengah gempuran masalah putus sekolah, hal ini terasa relevan dan mendesak untuk ditelaah lebih jauh.
Saya tertarik mengulasnya karena peristiwa ini tidak hanya soal hukum, tetapi juga tentang politik pendidikan. Kesepakatan yang tercapai dapat menjadi jalan tengah untuk menghindari kerugian jangka panjang, baik bagi sekolah swasta maupun anak-anak yang rawan putus sekolah. Pertanyaannya, mampukah perjanjian ini benar-benar menyelamatkan sekolah swasta dari ancaman terpinggirkan?
1. Jejak Perselisihan yang Panjang
Perselisihan ini berawal dari kebijakan Gubernur Jawa Barat yang meluncurkan program PAPS dengan menambah rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri hingga 50 siswa per kelas. Tujuannya memang mulia: menekan angka anak putus sekolah yang kian membengkak. Namun kebijakan ini langsung memukul sekolah swasta, yang kehilangan calon murid akibat pergeseran minat orang tua ke sekolah negeri.
Delapan organisasi sekolah swasta pun menggugat ke PTUN Bandung pada Juni 2025, menilai kebijakan itu diskriminatif dan mengancam keberlangsungan sekolah mereka. Gugatan tersebut sempat menimbulkan perdebatan panas di ruang publik, antara pihak yang menganggap pemerintah abai terhadap swasta, dan pihak lain yang menilai gugatan itu justru menghambat upaya menekan angka putus sekolah. Sengketa hukum pun berjalan hingga akhirnya berujung pada kesepakatan damai.