Legowokah DPR Mengembalikan Tunjangan demi Rakyat?
"Kebesaran seorang wakil rakyat tidak diukur dari tunjangannya, melainkan dari keikhlasannya berbagi derita dengan rakyat."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah pantas seorang wakil rakyat hidup dalam kelimpahan, sementara rakyat yang diwakilinya tercekik oleh biaya hidup? Pertanyaan itu menyeruak setiap kali publik mendengar kabar tentang tunjangan fantastis anggota DPR. Ironisnya, kontroversi itu selalu hadir di tengah kesulitan rakyat.
Gonjang-ganjing tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan telah memicu demonstrasi beruntun sejak 25 Agustus 2025. Bahkan, tragedi menimpa seorang driver ojek online, Affan Kurniawan, yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa itu menjadikan isu tunjangan DPR sebagai luka demokrasi sekaligus duka kemanusiaan.
Penulis tertarik mengulas isu ini bukan semata karena nilai uangnya, melainkan dampak moral dan politik yang lebih luas. Bagaimana rakyat percaya pada DPR bila wakilnya terkesan abai pada realitas hidup konstituennya? Urgensinya jelas: DPR harus membuktikan empati, bukan sekadar retorika.
Tunjangan Rumah: Janji, Polemik, dan Luka Publik
Kebijakan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan seakan dirancang tanpa komunikasi publik yang jernih. Baru setelah demonstrasi besar meledak, DPR menjelaskan tunjangan itu hanya berlaku setahun. Sayangnya, informasi terlambat itu sudah kadung melukai rasa keadilan rakyat.
Rakyat tentu menafsirkan tunjangan itu sebagai hak bulanan selama satu periode penuh. Logika sederhana inilah yang memantik amarah, karena nilainya bisa menembus triliunan rupiah. Bukankah seharusnya penjelasan ini disampaikan sejak awal? Transparansi yang absen menjadi titik rawan kepercayaan.