Sebagai wakil rakyat, anggota DPR seharusnya lebih sering turun ke lapangan untuk menyerap aspirasi. Kehadiran mereka di tengah masyarakat akan memperkecil jarak antara kebijakan dan realitas. Tanpa sensitivitas ini, DPR akan sulit membangun wibawa yang berakar pada legitimasi rakyat.
Kritik yang deras seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan defensif. DPR bisa menunjukkan komitmen moral dengan mengevaluasi kebijakan tunjangan rumah ini. Justru dari kepekaan terhadap rakyatlah kewibawaan wakil rakyat terbangun.
Penutup
Perdebatan mengenai tunjangan rumah DPR bukan hanya soal angka Rp 50 juta. Lebih dari itu, ia menyentuh persoalan keadilan sosial, moralitas kebijakan, dan sensitivitas wakil rakyat terhadap kondisi rakyat. Kebijakan ini bisa menjadi cermin apakah DPR benar-benar hadir untuk rakyat atau sekadar menjaga kenyamanan elit.
Sebagaimana dikatakan filsuf John Rawls, "Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial." Maka, keadilan anggaran harus ditempatkan di atas segalanya. DPR perlu menimbang kembali agar setiap kebijakan mencerminkan rasa adil yang dirasakan rakyat, bukan sekadar formalitas kajian angka. Wallahu a'lam.Â
Disclaimer
Artikel ini merupakan opini penulis yang disusun berdasarkan berita Kompas.com dan sumber relevan lainnya.
Daftar Pustaka
Kompas.com. (2025, 22 Agustus). Riuh Kritik Warga soal Tunjangan Rumah DPR yang Dinilai Berlebihan. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/08/22/20175551/riuh-kritik-warga-soal-tunjangan-rumah-dpr-yang-dinilai-berlebihan
Kompas.com. (2025, 21 Agustus). Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Warga: Buang-buang Anggaran Saat Ekonomi Sulit. https://nasional.kompas.com
Kompas.com. (2025, 21 Agustus). Ketua DPR Puan Maharani Tanggapi Kritik Tunjangan Rumah Anggota DPR. https://nasional.kompas.com