Refleksinya, DPR perlu membaca kritik ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai masukan konstruktif. Justru dengan mendengarkan kritik, DPR dapat memperkuat legitimasi moralnya di mata masyarakat. Jika kritik diabaikan, jurang ketidakpercayaan akan semakin lebar.
2. Argumen DPR: Rasionalitas Biaya atau Justifikasi Berlebihan?
Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa angka Rp 50 juta sudah melalui kajian matang. Ia menyebut nilai tersebut sesuai harga sewa rumah di Jakarta. Pernyataan ini mencoba memberi rasionalitas pada kebijakan yang menuai kritik luas.
Namun, argumen ini terasa lemah ketika dihadapkan pada fakta bahwa anggota DPR telah disediakan rumah dinas. Logika publik sederhana: mengapa harus ada tunjangan tambahan jika fasilitas pokok sudah tersedia? Justifikasi semacam ini berisiko melukai rasa keadilan rakyat.
Pesannya, rasionalitas anggaran tidak boleh dilepaskan dari konteks moralitas kebijakan. Publik lebih membutuhkan wakil rakyat yang sensitif terhadap penderitaan mereka, bukan sekadar cakap mengajukan pembenaran teknis. Dalam hal ini, kritik publik menemukan pijakan yang kuat.
3. Fasilitas Elit vs Kebutuhan Publik
Di saat DPR menerima tunjangan rumah Rp 50 juta, banyak guru honorer di daerah 3T belum mendapat upah layak. Kesenjangan ini menjadi kontras yang mencolok, mengingat guru adalah pilar masa depan bangsa. Publik menilai dana sebesar itu lebih tepat dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Kebijakan semacam ini justru menimbulkan kesan bahwa negara lebih mementingkan kenyamanan elit dibanding kebutuhan dasar rakyat. Padahal, fungsi DPR adalah memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memprioritaskan fasilitas pribadi. Kontradiksi inilah yang menjadi sumber kritik paling tajam.
Refleksinya, DPR perlu meninjau kembali proporsi fasilitas yang mereka nikmati. Bukan berarti anggota dewan tidak boleh mendapatkan hak, tetapi hak tersebut harus sepadan dengan kontribusi nyata. Jika tidak, kepercayaan publik akan terkikis.
4. Sensitivitas Sosial sebagai Ukuran Kewibawaan
Sensitivitas sosial adalah modal utama pejabat publik untuk menjaga kewibawaan. Ketika rakyat mendengar angka Rp 50 juta, yang muncul bukan rasa hormat, melainkan sinisme. Hal ini karena angka itu tidak sejalan dengan realitas rakyat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok.