Kebijakan Baru Pesantren Jabar: Antara Beasiswa dan Infrastruktur
"Kebijakan yang baik bukan sekadar niat, tapi juga keseimbangan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi 14 Agustus 2025, Pikiran Rakyat memberitakan perihal "Gubernur Jawa Barat Tidak Anggarkan Bantuan untuk Pondok Pesantren di APBD Perubahan 2025" yang memicu perbincangan publik. Dalam rapat paripurna di Gedung DPRD Jawa Barat, terungkap bahwa nomenklatur bantuan hibah pesantren ditiadakan, digantikan program beasiswa santri kurang mampu senilai Rp10 miliar. Padahal, sebelumnya bantuan fisik pesantren dianggarkan sebesar Rp153 miliar.
Keputusan ini dinilai relevan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Namun, bagi sebagian pihak, pergeseran prioritas ini memunculkan pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah terhadap dunia pesantren. Pasalnya, bantuan fisik yang selama ini menjadi tradisi, kini hilang dari daftar APBD Perubahan.
Penulis tertarik mengulas isu ini karena pesantren bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan pusat pembinaan karakter dan penjaga tradisi keilmuan. Perubahan kebijakan anggaran ini patut dibedah secara cermat: apakah langkah ini membawa manfaat lebih besar, atau justru meninggalkan celah yang merugikan ekosistem pendidikan berbasis pesantren.
1. Dari Hibah ke Beasiswa: Pergeseran Prioritas
Penghapusan bantuan fisik pesantren dan penggantian dengan beasiswa santri menunjukkan perubahan paradigma kebijakan pendidikan di Jawa Barat. Pemerintah tampaknya mengedepankan bantuan langsung kepada individu, alih-alih memperkuat kelembagaan. Di atas kertas, kebijakan ini dapat memperluas akses pendidikan bagi santri dari keluarga kurang mampu.
Namun, pergeseran ini juga menimbulkan risiko berkurangnya dukungan terhadap infrastruktur pesantren. Lembaga yang tidak mendapatkan perbaikan fasilitas bisa kesulitan memberikan layanan pendidikan yang optimal. Tanpa sarana yang memadai, beasiswa sekalipun tidak cukup untuk menjamin kualitas pembelajaran.