Refleksi pentingnya adalah bahwa otonomi fiskal harus diimbangi dengan akuntabilitas publik. Tanpa komunikasi yang jernih dan argumentasi yang berbasis data, kenaikan pajak berpotensi dilihat sebagai bentuk pemaksaan, bukan kebijakan bersama demi kemajuan daerah.
2. Gejolak Sosial dan Resistensi Masyarakat
Kenaikan PBB di beberapa daerah telah memicu gelombang protes besar. Di Pati, kebijakan menaikkan PBB hingga 250 persen langsung memantik aksi turun ke jalan, meski akhirnya dibatalkan. Di Cirebon, lonjakan hingga 1.000 persen memicu kemarahan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon, menyebut kebijakan tersebut “tidak masuk akal”. Sementara di Bone, Sulawesi Selatan, protes mahasiswa berujung bentrok dengan aparat.
Gelombang resistensi ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah tentang rapuhnya legitimasi kebijakan yang tidak dibangun dari partisipasi publik. Demonstrasi bukan sekadar reaksi spontan, tetapi indikasi adanya jarak komunikasi antara penguasa dan warga. Ketika ruang dialog tertutup atau tak efektif, jalanan menjadi forum ekspresi ketidakpuasan.
Kritiknya jelas: kebijakan pajak bukan sekadar dokumen perda, melainkan kesepakatan sosial yang harus dilandasi rasa keadilan. Pajak yang dirasa mencekik hanya akan menumbuhkan budaya resistensi, yang ujungnya menghambat pembangunan.
3. Respons Pemerintah Pusat: Bantahan dan Koordinasi
Istana melalui Mensesneg menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PBB murni keputusan daerah, bukan akibat pengurangan transfer anggaran dari pusat. Prasetyo bahkan menyebut koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri dilakukan setelah muncul gejolak di lapangan, bukan untuk merumuskan tarif pajak bersama.
Meski pernyataan ini menegaskan posisi pusat yang tidak ikut campur, publik menilai pemerintah pusat tetap punya peran moral untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal daerah selaras dengan prinsip perlindungan rakyat. Apalagi, kebijakan yang menimbulkan gejolak akan berdampak pada stabilitas sosial dan politik nasional.
Refleksinya, koordinasi yang dilakukan setelah masalah membesar menunjukkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap kebijakan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan publik. Pusat dan daerah seharusnya memiliki mekanisme evaluasi berkala agar kebijakan fiskal tidak melampaui batas kemampuan masyarakat.
4. Pelajaran dan Jalan ke Depan
Kisruh kenaikan PBB di lima daerah ini memberikan pelajaran penting: otonomi fiskal memerlukan keterampilan komunikasi publik dan manajemen krisis yang mumpuni. Tanpa itu, kebijakan yang mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan PAD bisa berubah menjadi krisis kepercayaan. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa keadilan pajak bukan hanya soal nominal, tapi juga persepsi publik tentang niat dan manfaatnya.