Tanah untuk Rakyat, Bukan Sekadar Warisan
"Hak milik datang bersama kewajiban, dan tanah yang dibiarkan tidur terlalu lama hanya akan menjadi beban negeri."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi yang teduh di Jakarta pada Minggu, 10 Agustus 2025, diwarnai dengan pernyataan tegas dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid. Dalam pemberitaan Pikiran-Rakyat.com berjudul "Menteri Nusron Wahid Sentil Rakyat yang Klaim Tanah 'Warisan Mbah': Itu Milik Negara!", Nusron menegaskan bahwa tanah bukanlah kepemilikan absolut yang diwariskan turun-temurun tanpa syarat. Ucapannya menggelitik kesadaran publik bahwa klaim "warisan mbah" tak otomatis memutus hak negara.
Isu ini menjadi relevan karena polemik pertanahan di Indonesia kerap bersumber dari tumpang tindih klaim dan rendahnya pemanfaatan lahan. Banyak kasus menunjukkan tanah terlantar yang dibiarkan tak produktif selama bertahun-tahun, sementara kebutuhan lahan untuk perumahan, pertanian, dan infrastruktur terus meningkat. Dalam konteks inilah, pernyataan Nusron bukan sekadar sentilan, tetapi juga peringatan akan kewajiban moral dan hukum bagi pemegang hak tanah.
Penulis tertarik mengulas pernyataan ini karena ia menyentuh akar persoalan: persepsi publik tentang hak milik tanah yang sering kali hanya dipandang dari sisi emosional dan genealogis. Padahal, undang-undang mengatur bahwa hak atas tanah diberikan negara dengan syarat pemanfaatan optimal. Mengabaikan kewajiban ini sama saja menutup peluang pemanfaatan tanah bagi kepentingan yang lebih luas.
1. Hak Milik Tanah dalam Perspektif Hukum Nasional
Dalam hukum pertanahan Indonesia, khususnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, tanah adalah milik negara yang dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemilik tanah memperoleh hak dari negara, bukan dari leluhur, dan hak tersebut bersyarat. Pernyataan Nusron Wahid menegaskan kembali bahwa kepemilikan bukanlah mutlak, melainkan hak pakai yang melekat pada kewajiban pemanfaatan.
Bila tanah dibiarkan terlantar, negara berhak mencabut hak tersebut setelah melalui prosedur panjang. Proses ini tidak dilakukan sewenang-wenang; tahapan peringatan, evaluasi, hingga penetapan memakan waktu hingga 587 hari. Hal ini memastikan keadilan bagi pemilik sekaligus melindungi kepentingan publik.