Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Jernih di Tengah Kekuasaan yang Keruh: Warisan Intelektual Kwik Kian Gie

2 Agustus 2025   06:31 Diperbarui: 2 Agustus 2025   06:31 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Integritas berarti berani tak disukai demi kebenaran." – Kwik Kian Gie (Republika.co.id)

Berpikir Jernih di Tengah Kekuasaan yang Keruh: Warisan Intelektual Kwik Kian Gie
"Integritas berarti berani tak disukai demi kebenaran." – Kwik Kian Gie

Oleh Karnita

Pendahuluan

Berita duka itu datang pada malam yang hening, Senin, 28 Juli 2025 pukul 22.00 WIB. Indonesia kehilangan sosok langka: Kwik Kian Gie, ekonom, pendidik, dan negarawan berusia 90 tahun. Diberitakan DetikJatim (29/7/2025) dalam artikel bertajuk “Profil Kwik Kian Gie, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, wafatnya beliau bukan sekadar kehilangan seorang menteri atau mantan pejabat tinggi negara.

Dengan tubuh kurus, rambut perak tersisir rapi, dan suara lirih yang tak pernah meninggi, ia menyampaikan kritik tajam dengan logika jernih dan keberanian moral yang konsisten. Dalam setiap forum, tulisannya, maupun wawancara, Kwik tampil seperti suara hati rakyat yang menolak dibungkam banalitas kekuasaan. Warisan pemikirannya akan terus hidup, sebab ia lebih besar dari jabatan—ia adalah nurani publik yang berani bersuara.

Penulis terpikat untuk menelaah kembali warisan pemikiran Kwik setelah membaca artikel opini Irvan Maulana di Kompas (30/7/2025), berjudul “Kwik Kian Gie dan Logika yang Tak Pernah Naif”. Artikel itu bukan sekadar penghormatan, tetapi pengingat bahwa keberanian intelektual sangat langka dalam lanskap politik kita. Di tengah arus wacana yang kian pragmatis, keberanian untuk berpikir berbeda dan tetap rasional seperti yang diteladankan Kwik layak dikaji ulang.

Di saat negara kembali bergantung pada investasi asing dan kebijakan ekonomi yang elitis, relevansi pemikiran Kwik kian nyata. Ia menolak pendekatan ekonomi yang melulu berbicara soal pertumbuhan tanpa keadilan, efisiensi tanpa nurani. Tulisan ini bertujuan bukan hanya mengenang, tetapi menghidupkan kembali cara berpikir yang terancam hilang: berpikir jernih dalam gelombang kepentingan, dan berdiri untuk rakyat ketika kekuasaan mulai lupa arah.

1. Modernisasi Tanpa Akar: Kritik Kwik terhadap Simbolisme Pembangunan

Di masa Presiden Habibie, ketika bangsa terpukau pada lompatan teknologi—dari pesawat hingga mobil nasional—Kwik memilih untuk bertanya lebih dahulu daripada bertepuk tangan. Ia menggugat logika pembangunan yang lebih sibuk mempercantik etalase ketimbang membenahi fondasi. Bagi Kwik, pembangunan tidak sah jika tidak menyentuh kehidupan petani, nelayan, dan buruh.

Dalam kritiknya yang elegan namun tajam, Kwik menolak glorifikasi teknologi jika hanya dinikmati oleh segelintir elite. Ia percaya bahwa kemajuan tak berarti jika terjadi di atas penderitaan. Inilah pembeda utamanya: ia menginginkan modernisasi yang mengakar, bukan sekadar melesat. Kritik itu bukan bentuk anti-pembangunan, melainkan tuntutan etika terhadap keadilan sosial.

Refleksi ini sangat relevan di masa kini ketika proyek-proyek strategis nasional kembali digulirkan. Kwik mengingatkan kita bahwa pembangunan tak boleh berorientasi pada pencitraan elite, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Bangsa yang sibuk memoles citra tapi lupa memperkuat sistem hanya akan menghasilkan glamor jangka pendek dan kegagalan jangka panjang.

2. Investasi dan Feodalisme Baru: Membongkar Mentalitas Tunduk

Salah satu kisah paling menusuk dari memoar Kwik adalah saat elite Indonesia menyambut Raja Salman dengan euforia berlebihan. Padahal, nilai investasi yang digembar-gemborkan hanyalah 25 juta dolar AS. Ia menyayangkan bagaimana relasi diplomatik diperlakukan seperti ritual feodal ketimbang transaksi ekonomi rasional.

Kwik tak menentang kerja sama internasional. Ia menentang cara elite memaknai investasi asing secara irasional—seolah uang bisa datang dari langit tanpa sistem yang sehat. Ia menilai, negara yang berdaulat tidak bersikap inferior di hadapan gelar raja atau pangeran, tetapi percaya diri menawarkan nilai dari stabilitas hukum dan tata kelola yang baik.

Mentalitas semacam itu masih terlihat hari ini. Kita sering menyambut investor asing seolah penyelamat, bukan mitra. Kita lupa bahwa investasi hanya tumbuh di tanah yang subur oleh kepastian hukum, bukan puja-puji protokoler. Kritik Kwik adalah undangan untuk berpikir ulang: apakah kita membangun sistem, atau sekadar menunggu mukjizat dari luar?

3. Perlawanan terhadap Diplomasi Utang: Konsistensi Menolak IMF

"Berpikir  jernih di tengah badai kepentingan, itulah kemewahan sejati seorang intelektual." – Kwik Kian Gie (Dok. Tangselpos.id) 

Pada masa krisis 1998, di tengah gelombang kebangkrutan dan tekanan global, Kwik berdiri tegak menolak kebijakan rekapitalisasi bank yang didikte oleh IMF. Ia melihat OR (Obligasi Rekapitalisasi) bukan sebagai solusi, tetapi tragedi fiskal. Negara menanggung kerugian para konglomerat, sementara rakyat dipaksa berhemat dan kehilangan pekerjaan.

Ia membongkar manipulasi istilah Letter of Intent (LoI) yang disodorkan IMF. Meski terkesan sukarela, dokumen itu memuat tekanan terselubung dan menjadikan kebijakan nasional sekadar perpanjangan tangan lembaga donor. Kwik menolak jadi bagian dari legitimasi kebijakan yang menyandera masa depan fiskal negara.

Kritik terhadap IMF bukan semata retorika antiglobalisasi. Ini soal kehormatan berbangsa. Kwik membela gagasan bahwa kedaulatan ekonomi tak bisa dijual demi penyelamatan jangka pendek. Kita butuh pemimpin yang tak hanya paham teknokrasi, tetapi juga punya keberanian moral untuk berkata "tidak" ketika sejarah menuntutnya.

4. Ekonomi dan Etika: Antara Efisiensi dan Keadilan

Bagi Kwik, ekonomi bukan sekadar angka dan pertumbuhan. Ia menempatkan etika sebagai fondasi pengambilan keputusan. Ia menolak narasi efisiensi yang sering digunakan untuk mencabut subsidi, memprivatisasi layanan dasar, atau menyingkirkan rakyat kecil demi kepentingan pasar.

Dalam banyak tulisannya, ia menunjukkan bahwa tak semua yang efisien itu adil, dan tak semua yang menguntungkan fiskal itu bermoral. Ia mempersoalkan kebijakan-kebijakan yang mengorbankan prinsip kerakyatan demi laporan makro yang tampak manis. Ketika banyak ekonom menyerah pada logika pasar bebas, Kwik tetap setia pada suara nurani.

Refleksi moral ini makin penting hari ini. Di era big data dan AI, ketika keputusan ekonomi makin didikte oleh algoritma, keberanian untuk menempatkan manusia dan keadilan sosial sebagai pusat kebijakan menjadi sangat langka. Kwik mengajarkan bahwa ilmu ekonomi yang tercerabut dari nurani, cepat atau lambat, akan melukai rakyatnya sendiri.

5. Intelektual yang Tidak Takut Tak Disukai

Warisan paling kuat dari Kwik bukan terletak pada jabatan atau penghargaan. Tapi pada keteguhan untuk tetap berpikir merdeka, walau dibayar dengan pengasingan. Ia pernah terpinggirkan karena menolak tanda tangan yang akan melegitimasi pembebasan obligor BLBI. Ia tahu satu tanda tangan bisa menghapus integritas yang dibangun puluhan tahun.

Di tengah sistem yang haus loyalitas dan kompromi, Kwik berdiri sebagai pengingat bahwa menjadi intelektual berarti siap tak disukai. Ia tak menolak kekuasaan, tetapi tak mau jadi alatnya. Ia membela ide, bukan jabatan. Di masa ketika banyak intelektual memilih diam demi kenyamanan, Kwik memilih bicara demi kebenaran.

Di sinilah letak keistimewaan Kwik. Ia bukan pemikir yang galak, tetapi jernih. Ia bukan oposisi yang membabi buta, tetapi pembeda yang tegas. Dalam keheningan kematiannya, ia meninggalkan dentuman: bahwa keberanian berpikir akan selalu lebih abadi ketimbang popularitas.

Penutup

Ketika bangsa ini kembali dihadapkan pada pilihan-pilihan strategis pembangunan dan diplomasi ekonomi, suara Kwik Kian Gie masih terdengar jelas. Ia bukan hanya meninggalkan pemikiran, tetapi juga cara berpikir: berpihak pada rakyat, setia pada nurani, dan berani tak disukai demi kebenaran.

"Berpikir rasional itu mudah, tetapi berpikir jernih di tengah badai kepentingan, itulah kemewahan sejati seorang intelektual." – Kwik Kian Gie

Disclaimer:

Tulisan ini disusun sebagai bentuk refleksi dan penghormatan terhadap pemikiran Kwik Kian Gie. Pandangan dalam artikel ini merupakan interpretasi penulis dan tidak mewakili lembaga mana pun.

Daftar Pustaka

  1. Kompas.com. (30 Juli 2025). Kwik Kian Gie dan Logika yang Tak Pernah Naif. https://www.kompas.com/opini/read/2025/07/30/110000/kwik-kian-gie-logika-tak-pernah-naif
  2. Detik.com. (29 Juli 2025). Profil Kwik Kian Gie, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia. https://www.detik.com/jatim/berita/d-8034329/profil-kwik-kian-gie-bapak-ekonomi-kerakyatan-indonesia
  3. Tempo.co. (2020). Kwik Kian Gie: Kritik terhadap IMF dan Kapitalisme Kroni. https://nasional.tempo.co/read/kwik-imf-kritik
  4. Republika.co.id. (2018). Kwik: Kebijakan Ekonomi Harus Berpihak pada Rakyat. https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/nasional/18/kwik-kritik-ekonomi
  5. Prasetiya Mulya. (2021). Jejak Pemikiran Kwik Kian Gie di Dunia Pendidikan. https://www.prasetiyamulya.ac.id/kwik-kian-gie-legacy

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun