Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Jernih di Tengah Kekuasaan yang Keruh: Warisan Intelektual Kwik Kian Gie

2 Agustus 2025   06:31 Diperbarui: 2 Agustus 2025   06:31 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Integritas berarti berani tak disukai demi kebenaran." – Kwik Kian Gie (Republika.co.id)

Refleksi ini sangat relevan di masa kini ketika proyek-proyek strategis nasional kembali digulirkan. Kwik mengingatkan kita bahwa pembangunan tak boleh berorientasi pada pencitraan elite, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Bangsa yang sibuk memoles citra tapi lupa memperkuat sistem hanya akan menghasilkan glamor jangka pendek dan kegagalan jangka panjang.

2. Investasi dan Feodalisme Baru: Membongkar Mentalitas Tunduk

Salah satu kisah paling menusuk dari memoar Kwik adalah saat elite Indonesia menyambut Raja Salman dengan euforia berlebihan. Padahal, nilai investasi yang digembar-gemborkan hanyalah 25 juta dolar AS. Ia menyayangkan bagaimana relasi diplomatik diperlakukan seperti ritual feodal ketimbang transaksi ekonomi rasional.

Kwik tak menentang kerja sama internasional. Ia menentang cara elite memaknai investasi asing secara irasional—seolah uang bisa datang dari langit tanpa sistem yang sehat. Ia menilai, negara yang berdaulat tidak bersikap inferior di hadapan gelar raja atau pangeran, tetapi percaya diri menawarkan nilai dari stabilitas hukum dan tata kelola yang baik.

Mentalitas semacam itu masih terlihat hari ini. Kita sering menyambut investor asing seolah penyelamat, bukan mitra. Kita lupa bahwa investasi hanya tumbuh di tanah yang subur oleh kepastian hukum, bukan puja-puji protokoler. Kritik Kwik adalah undangan untuk berpikir ulang: apakah kita membangun sistem, atau sekadar menunggu mukjizat dari luar?

3. Perlawanan terhadap Diplomasi Utang: Konsistensi Menolak IMF

"Berpikir  jernih di tengah badai kepentingan, itulah kemewahan sejati seorang intelektual." – Kwik Kian Gie (Dok. Tangselpos.id) 

Pada masa krisis 1998, di tengah gelombang kebangkrutan dan tekanan global, Kwik berdiri tegak menolak kebijakan rekapitalisasi bank yang didikte oleh IMF. Ia melihat OR (Obligasi Rekapitalisasi) bukan sebagai solusi, tetapi tragedi fiskal. Negara menanggung kerugian para konglomerat, sementara rakyat dipaksa berhemat dan kehilangan pekerjaan.

Ia membongkar manipulasi istilah Letter of Intent (LoI) yang disodorkan IMF. Meski terkesan sukarela, dokumen itu memuat tekanan terselubung dan menjadikan kebijakan nasional sekadar perpanjangan tangan lembaga donor. Kwik menolak jadi bagian dari legitimasi kebijakan yang menyandera masa depan fiskal negara.

Kritik terhadap IMF bukan semata retorika antiglobalisasi. Ini soal kehormatan berbangsa. Kwik membela gagasan bahwa kedaulatan ekonomi tak bisa dijual demi penyelamatan jangka pendek. Kita butuh pemimpin yang tak hanya paham teknokrasi, tetapi juga punya keberanian moral untuk berkata "tidak" ketika sejarah menuntutnya.

4. Ekonomi dan Etika: Antara Efisiensi dan Keadilan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun