Ketika Sekat Ruang Jadi Sekat Akses: SLB Pajajaran dan Potret Keterlambatan Empati Publik
“Kita hanya benar-benar beradab bila pendidikan anak berkebutuhan khusus kita anggap sama pentingnya.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Walking in Silence: Saat Suara Guru Menjadi Derau
Di antara tumpukan lemari besi dan dinding kayu yang setengah lapuk, suara dua guru saling bersahutan dalam satu ruangan sempit. Anak-anak tunanetra duduk mencoba menangkap pelajaran lewat telinga yang nyaris tak punya ruang tenang. Rabu, 22 Juli 2025, Republika menerbitkan laporan dengan tajuk “Memprihatinkan SLB Negeri Pajajaran Bandung, Ruangan Disekat Jadi Dua Kelas”. Liputan yang ditulis Muhammad Fauzi Ridwan dan disunting Arie Lukihardianti ini menyorot kondisi ruang belajar yang tidak manusiawi di SLB Negeri A Pajajaran, Kota Bandung. Ruang perpustakaan dijadikan ruang kelas, beberapa kelas disekat lemari besi, bahkan ada ruangan seni yang dipakai sebagai tempat belajar darurat.
Penulis tertarik mengangkat isu ini karena SLB bukan hanya ruang belajar, tapi ruang rehabilitasi martabat. Di sanalah anak-anak dengan hambatan penglihatan seharusnya mendapatkan layanan terbaik—bukan sebaliknya, menjadi “terusir” secara struktural oleh sempitnya kepedulian publik. Apa yang dialami siswa SLB Pajajaran bukan sekadar masalah fasilitas, melainkan tanda serius kegagapan kebijakan, buruknya koordinasi lintas lembaga, serta kerentanan hak-hak pendidikan kelompok minoritas disabilitas.
Dalam konteks saat ini, di mana inklusi dan kesetaraan menjadi jargon di berbagai ruang forum dan kebijakan pendidikan, kisah ini menohok. Ia menjadi refleksi penting atas praktik yang justru eksklusif dan memarjinalkan. Bagaimana bisa kita bicara tentang pendidikan untuk semua jika kebutuhan mendasar pun dibiarkan terbengkalai? Artikel ini mengurai masalah, pesan, kritik, serta tawaran refleksi demi mendorong perubahan sistemik yang konkret.
1. Sekat Kayu, Sekat Kesempatan: Potret Ruang Kelas yang Kian Mengecil
Di balik sekat kayu atau lemari besi yang membelah ruang kelas, tersembunyi cerita yang jauh lebih pilu daripada yang tampak. Satu ruang dipakai dua hingga lima rombongan belajar (rombel), suara guru bersahutan, dan anak-anak tunanetra terpaksa bertahan dengan pendengaran yang justru terusik. Ini bukan hanya soal kenyamanan, melainkan persoalan fundamental dalam proses belajar anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Mereka yang mengandalkan orientasi auditori, tentu sangat terganggu dengan kebisingan lintas kelas yang berdinding tipis. Dalam dunia pendidikan luar biasa, konsentrasi dan ketenangan menjadi modal krusial. Maka ketika dua guru harus mengajar dalam satu ruang, kita sedang mengorbankan hak anak-anak ini atas suasana belajar yang memadai.
Penyekatan ruang, dari sudut pandang pedagogis dan psikososial, adalah bentuk penurunan mutu layanan yang sangat drastis. Dalam bahasa yang lebih keras, ini bukan sekadar penghematan ruang, tapi pemiskinan akses belajar. Dan jika dibiarkan berlarut, akan menjadi pembenaran struktural atas praktik diskriminasi pendidikan.