Amnesti Adalah Simbol, Bukan Sekadar Surat Keputusan
“Keadilan bukan hanya tentang menghukum, tetapi tentang membangun kembali kepercayaan yang rusak.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Hening menyelimuti ruang redaksi pada Kamis malam, 31 Juli 2025, ketika layar digital Kompas.com menampilkan judul mencolok: "Pakar Pidana: Presiden Lihat Kasus Tom Lembong dan Hasto Politis." Di balik sorotan lampu studio dan teks berjalan, satu pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengguncang opini publik: Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, mantan Sekjen PDI Perjuangan yang tersangkut kasus suap terkait pengurusan PAW Harun Masiku.
Penulis tertarik membahas khusus ihwal amnesti bagi Hasto karena perkara ini memperlihatkan simpul paling kompleks antara konstitusi, etika publik, dan legitimasi politik. Di satu sisi, amnesti adalah hak prerogatif Presiden yang sah menurut UUD 1945. Namun di sisi lain, keputusan ini lahir dari ruang yang sarat tafsir: benarkah ada muatan politis dalam penetapan status hukum Hasto? Dan jika iya, apakah amnesti menjadi solusi atau justru titik rawan demokrasi?
Isu ini menjadi penting karena menyentuh jantung kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Di tengah sorotan terhadap penegakan hukum yang sering dipersepsikan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, pemberian amnesti terhadap seorang tokoh sentral partai politik menimbulkan beragam reaksi: dari apresiasi rekonsiliasi hingga tudingan politisasi hukum. Tulisan ini mencoba menelaah lebih dalam: benarkah amnesti bagi Hasto adalah jalan etis, atau justru cermin ambiguitas kekuasaan?
1. Amnesti dan Hak Konstitusional: Legalitas yang Mengandung Etika
Dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, Presiden RI diberikan wewenang untuk memberikan amnesti dengan mempertimbangkan DPR. Secara hukum, keputusan Presiden Prabowo dalam memberi amnesti kepada Hasto telah melalui proses formal. DPR pun telah menyetujui pertimbangan tersebut. Namun dalam politik, legalitas tidak selalu menjamin netralitas moral.
Pakar pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan bahwa Presiden melihat kasus Hasto sebagai bermuatan politis. Argumentasi ini membuka ruang tafsir luas: apakah setiap perkara hukum yang menimpa elite politik bisa diklasifikasikan sebagai "politis", dan dengan demikian layak mendapat pengampunan? Bila demikian, kita patut khawatir akan munculnya preseden di mana hukum menjadi subordinat dari kompromi kekuasaan.
Amnesti seharusnya digunakan dalam situasi luar biasa—konflik ideologis, krisis nasional, atau pelanggaran hukum yang memiliki dimensi rekonsiliatif. Jika tidak, amnesti kehilangan daya sakralnya dan berubah menjadi sekadar alat taktis kekuasaan yang dilegitimasi oleh prosedur.
2. Dimensi Etik: Dari Pengampunan Menuju Rekonsiliasi?
Pemberian amnesti terhadap Hasto menyiratkan bahwa negara melihat dirinya sebagai pihak yang harus mengakhiri konflik politis melalui jalur eksekutif. Namun apakah ini bentuk rekonsiliasi substantif, atau hanya kalkulasi elektoral menjelang konsolidasi pemerintahan baru?
Kejaksaan Agung sebelumnya telah memproses Hasto dalam kasus yang berkaitan dengan korupsi politik, dengan alat bukti dan konstruksi hukum yang dianggap cukup. Maka, ketika Presiden memberi amnesti, publik berhak bertanya: apakah aparat penegak hukum telah salah menilai? Atau justru ada kekuatan politik yang kini menghendaki “penghentian” demi harmoni kekuasaan?
Etika publik menuntut keterbukaan. Jika amnesti diberikan atas nama rekonsiliasi, maka harus dijelaskan kepada rakyat—rekonsiliasi terhadap siapa, atas konflik apa, dan untuk tujuan apa. Tanpa itu, amnesti berisiko ditafsirkan sebagai bentuk impunitas politik.
3. Persepsi Rakyat dan Luka Simbolik Hukum
Respons masyarakat terhadap amnesti Hasto terbagi dua: sebagian melihatnya sebagai langkah progresif untuk meredakan eskalasi politik yang berkepanjangan, sementara sebagian lain menilainya sebagai pembebasan elit dari tanggung jawab hukum. Dalam demokrasi, persepsi publik adalah elemen penting dari legitimasi hukum.
Luka keadilan seringkali tidak terlihat dalam naskah putusan, tetapi terasa dalam ketimpangan perlakuan hukum. Jika rakyat kecil dihukum karena pelanggaran administratif, tetapi elit politik bisa "dibebaskan" melalui hak prerogatif, maka wibawa hukum mengalami degradasi simbolik.
Amnesti Hasto, dalam hal ini, bukan hanya diuji secara konstitusional, tapi juga secara simbolik: apakah keputusan ini memperkuat rasa keadilan kolektif atau justru memperdalam skeptisisme terhadap negara hukum?
4. Reformasi Tata Kelola Amnesti: Batas Etis dan Akuntabilitas
Pemberian amnesti haruslah lebih dari sekadar tindakan administratif. Sudah saatnya Indonesia memiliki kerangka tata kelola pengampunan yang lebih transparan dan akuntabel. Salah satunya adalah pembentukan lembaga independen yang dapat menilai objektivitas permohonan amnesti berdasarkan indikator politik, etik, dan yuridis yang terukur.
Penting pula merumuskan batasan: apa yang dimaksud “kasus politis”? Apakah kritik terhadap pemerintah? Apakah keterlibatan dalam konflik partai? Jika definisi ini tidak jelas, maka keputusan pengampunan akan selalu rawan dimanipulasi.
Amnesti seharusnya menjadi ruang edukasi moral negara—bukan kalkulasi elitis. Tanpa reformasi etis dalam praktiknya, setiap amnesti akan dicurigai sebagai transaksi kekuasaan yang dibungkus dalam kebijakan.
Penutup
Amnesti bagi Hasto Kristiyanto mencerminkan dilema klasik antara legalitas dan legitimasi. Di satu sisi, Presiden menjalankan hak konstitusionalnya. Di sisi lain, publik menagih narasi keadilan yang tidak berbau privilese. Maka, jika kita ingin menjaga demokrasi tetap hidup, keputusan seperti ini harus dibarengi dengan keterbukaan, pertanggungjawaban, dan keberanian untuk mengoreksi instrumen hukum yang cacat.
“Keadilan bukan sekadar hukum yang ditegakkan, tetapi tentang kepercayaan yang tidak dikhianati.”
Mari kita jaga agar keputusan pemimpin tidak menjadi preseden yang mengikis moral hukum, melainkan menjadi batu pijakan menuju sistem hukum yang adil, etis, dan dipercaya publik. Wallahu a’lam.
Disclaimer:
Artikel ini adalah opini independen berbasis analisis publik dan pemberitaan resmi. Penulis tidak berafiliasi dengan pihak mana pun dalam kasus yang dibahas.
Daftar Pustaka
- Kompas.com. (2025, 31 Juli). Pakar Pidana: Presiden Lihat Kasus Tom Lembong dan Hasto Politis.
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/31/22280081/pakar-pidana-presiden-lihat-kasus-tom-lembong-dan-hasto-politis - Kompas.com. (2025). Apa Itu Amnesti? yang Diberikan Prabowo ke Hasto dan Kasus Makar
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/31/20100021/apa-itu-amnesti-dan-abolisi - Kompas.com. (2025). Ini Pertimbangan Prabowo Beri Abolisi dan Amnesti ke Tom Lembong dan Hasto
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/31/22050043/pertimbangan-prabowo-amnesti-abolisi - Kompas.com. (2025). Ketua KPK soal Amnesti Hasto: Itu Kewenangan Presiden
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/31/23120089/kpk-amnesti-hasto-presiden - UUD 1945. Pasal 14 Ayat 2: Hak Presiden memberi amnesti dan abolisi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI