2. Dimensi Etik: Dari Pengampunan Menuju Rekonsiliasi?
Pemberian amnesti terhadap Hasto menyiratkan bahwa negara melihat dirinya sebagai pihak yang harus mengakhiri konflik politis melalui jalur eksekutif. Namun apakah ini bentuk rekonsiliasi substantif, atau hanya kalkulasi elektoral menjelang konsolidasi pemerintahan baru?
Kejaksaan Agung sebelumnya telah memproses Hasto dalam kasus yang berkaitan dengan korupsi politik, dengan alat bukti dan konstruksi hukum yang dianggap cukup. Maka, ketika Presiden memberi amnesti, publik berhak bertanya: apakah aparat penegak hukum telah salah menilai? Atau justru ada kekuatan politik yang kini menghendaki “penghentian” demi harmoni kekuasaan?
Etika publik menuntut keterbukaan. Jika amnesti diberikan atas nama rekonsiliasi, maka harus dijelaskan kepada rakyat—rekonsiliasi terhadap siapa, atas konflik apa, dan untuk tujuan apa. Tanpa itu, amnesti berisiko ditafsirkan sebagai bentuk impunitas politik.
3. Persepsi Rakyat dan Luka Simbolik Hukum
Respons masyarakat terhadap amnesti Hasto terbagi dua: sebagian melihatnya sebagai langkah progresif untuk meredakan eskalasi politik yang berkepanjangan, sementara sebagian lain menilainya sebagai pembebasan elit dari tanggung jawab hukum. Dalam demokrasi, persepsi publik adalah elemen penting dari legitimasi hukum.
Luka keadilan seringkali tidak terlihat dalam naskah putusan, tetapi terasa dalam ketimpangan perlakuan hukum. Jika rakyat kecil dihukum karena pelanggaran administratif, tetapi elit politik bisa "dibebaskan" melalui hak prerogatif, maka wibawa hukum mengalami degradasi simbolik.
Amnesti Hasto, dalam hal ini, bukan hanya diuji secara konstitusional, tapi juga secara simbolik: apakah keputusan ini memperkuat rasa keadilan kolektif atau justru memperdalam skeptisisme terhadap negara hukum?
4. Reformasi Tata Kelola Amnesti: Batas Etis dan Akuntabilitas
Pemberian amnesti haruslah lebih dari sekadar tindakan administratif. Sudah saatnya Indonesia memiliki kerangka tata kelola pengampunan yang lebih transparan dan akuntabel. Salah satunya adalah pembentukan lembaga independen yang dapat menilai objektivitas permohonan amnesti berdasarkan indikator politik, etik, dan yuridis yang terukur.
Penting pula merumuskan batasan: apa yang dimaksud “kasus politis”? Apakah kritik terhadap pemerintah? Apakah keterlibatan dalam konflik partai? Jika definisi ini tidak jelas, maka keputusan pengampunan akan selalu rawan dimanipulasi.