Kritik tajam namun konstruktif perlu diarahkan pada pola manajemen performa. Bagaimana proses pemulihan cedera dan strategi comeback diatur? Apakah cukup waktu dan adaptasi diberikan sebelum dipaksa berlaga? Jika tidak ada perubahan pada pendekatan ini, kita bukan hanya kehilangan gelar—tetapi juga mempertaruhkan masa depan para atlet yang bisa saja cedera kembali atau kehilangan motivasi.
Mental Juara yang Masih Prematur
Pelatih tunggal putra Indra Wijaya menyoroti aspek yang kerap luput dari perhatian awam: kematangan mental. Komentar beliau tentang Alwi, pemain muda dengan potensi teknis baik namun belum kuat dalam menghadapi tekanan pertandingan, mencerminkan persoalan klasik: Indonesia punya banyak talenta, tapi belum tentu siap jadi juara dunia. Mentalitas kompetitif—bukan sekadar skill—adalah pembeda antara juara dan peserta.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pembinaan atlet tidak cukup hanya di ranah fisik dan teknik. Program penguatan psikologis, simulasi tekanan pertandingan, hingga pendampingan emosional harus dijadikan bagian integral dari latihan. Sudah saatnya PBSI menggandeng psikolog olahraga secara sistemik, bukan insidental.
Hal ini juga menjadi refleksi bagi masyarakat dan media: terlalu cepat menaruh beban harapan pada pemain muda bisa merusak proses bertumbuh mereka. Setiap talenta butuh ruang belajar dari kekalahan tanpa harus langsung dibandingkan dengan para legenda. Kejuaraan bukan hanya tentang medali, tetapi tentang proses membentuk pribadi tangguh.
Regenerasi atau Repetisi?
Jika kita tilik lebih jauh, pertanyaan besar lain muncul: apakah PBSI benar-benar melakukan regenerasi, atau justru terus mengandalkan nama-nama lama tanpa mempersiapkan penerus secara matang? Di sektor tunggal putra misalnya, tidak banyak wajah baru yang benar-benar berhasil menembus papan atas dunia. Di sisi ganda pun, performa menurun saat pasangan-pasangan utama tampil tidak maksimal.
Pola ini mencerminkan kemungkinan adanya stagnasi dalam scouting dan pembinaan atlet muda. Apakah sistem kompetisi nasional cukup adil dan kompetitif untuk memunculkan talenta-talenta baru? Ataukah sistem seleksi justru menutup ruang bagi mereka yang tidak berasal dari klub besar atau lingkungan yang “diakui”?
Regenerasi sejati bukan sekadar mengganti pemain, tetapi menanamkan sistem yang memungkinkan talenta bermekaran secara merata. PBSI harus berani mengevaluasi program pembinaan usia dini dan memberikan panggung kepada pemain muda lewat wildcard atau turnamen internal berjenjang.
Saatnya Evaluasi Menyeluruh, Bukan Sekadar Tambal Sulam