Dalam praktiknya, HRD tidak hanya membaca, tetapi “merasakan” surat lamaran. Kalimat pembuka yang hangat dan spesifik bisa langsung memberi kesan positif. Misalnya, kalimat seperti "Saya tertarik melamar karena perusahaan ini dikenal mendukung pertumbuhan talenta muda di bidang keberlanjutan…” menunjukkan bahwa pelamar telah melakukan riset dan benar-benar peduli. Sentuhan semacam ini menunjukkan bahwa surat ditulis dengan perhatian, bukan sekadar pengulangan template.
Refleksi pentingnya: surat lamaran adalah ruang menyampaikan niat dan nilai. Ketika dibuat dengan jujur dan tidak sekadar formalitas, ia bisa menjadi pintu masuk pertama ke dalam dunia kerja—yang mungkin tak bisa digantikan oleh CV, portofolio, atau rekomendasi. Inilah kekuatan narasi personal: menjembatani kualifikasi dengan karakter.
2. Kualifikasi Tak Berdiri Sendiri
Kualifikasi akademik dan teknis memang penting. Namun HRD kerap mencari "apa yang tak tampak di CV": komitmen, ketekunan, kecocokan nilai, dan kesiapan untuk belajar. Surat lamaran adalah satu-satunya tempat untuk menarasikan hal-hal itu secara eksplisit. Tanpa narasi, kualifikasi hanya menjadi data yang dingin dan tidak berjiwa.
Misalnya, pelamar bisa menjelaskan bahwa meskipun belum punya pengalaman kerja formal, ia aktif dalam organisasi OSIS, terlibat dalam kepanitiaan, atau pernah magang secara informal. Pengalaman itu menjadi jendela bagi HRD untuk menilai pola pikir, cara bekerja dalam tim, serta kepekaan terhadap lingkungan kerja. Pengalaman nonformal pun jika diceritakan dengan baik, bisa bernilai setara dengan pengalaman kerja formal.
Surat lamaran bukan sekadar tempat menulis “apa yang saya punya,” tetapi juga “siapa saya, dan mengapa saya ingin menjadi bagian dari tempat Anda.” Dalam konteks pendidikan menengah, keterampilan menuliskan narasi ini harus mulai ditanamkan—karena hanya dengan itu siswa bisa membedakan diri dari ribuan pelamar lain. Kemampuan ini adalah bentuk literasi yang langsung aplikatif dan berdampak.
3. Peluang Pendidikan Menengah: Belajar dari Surat
Banyak kurikulum sekolah menengah lebih menekankan pada nilai akademik daripada kemampuan komunikasi. Padahal, keterampilan menulis surat lamaran adalah bagian penting dari literasi fungsional yang aplikatif. Ini bukan sekadar tugas bahasa Indonesia, melainkan pelatihan diri untuk memahami dunia kerja yang nyata. Pendidikan yang tak mengaitkan pelajaran dengan konteks masa depan akan tertinggal dari kebutuhan zaman.
Di sinilah sekolah harus mulai hadir: dengan menghadirkan pelatihan menulis surat lamaran sebagai bagian dari pelajaran praktik kerja lapangan (PKL) atau muatan lokal yang relevan. Siswa kelas XII perlu dibekali dengan simulasi, umpan balik, dan studi kasus agar mereka tak hanya tahu cara menulis, tapi memahami mengapa surat itu penting. Kegiatan ini bisa dilakukan lintas mata pelajaran, bahkan menjadi bagian dari proyek kurikulum Merdeka.
Kritik bagi institusi pendidikan: jangan sampai siswa lulus dengan nilai tinggi tapi tak bisa menulis surat lamaran yang menggambarkan dirinya sendiri. Surat lamaran yang baik adalah cerminan refleksi dan kesadaran diri—dua hal yang semestinya menjadi hasil pendidikan itu sendiri. Sekolah wajib mencetak lulusan yang siap, bukan hanya cerdas.