Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menapak di Ladang Ranjau, Menguak Makna dari Makhluk yang Diremehkan

18 Juli 2025   16:24 Diperbarui: 18 Juli 2025   16:24 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tikus pendeteksi ranjau yang digunakan pembersihan ranjau kemanusiaan, APOPO, di ladang ranjau darat di Siem Reap, Kamboja,  2025. (AP PHOTO/AN

Menapak di Ladang Ranjau, Menguak Makna dari Makhluk yang Diremehkan

"Dalam dunia yang retak oleh perang, bahkan seekor tikus bisa menjadi penjahit harapan."
Oleh Karnita

Pendahuluan: Diam-diam, Mereka Menyelamatkan Dunia

Pagi masih enggan terbit di Siem Reap, Kamboja. Embun menyelimuti semak liar ketika seekor tikus berkantong raksasa melangkah perlahan di atas tanah yang menyimpan bahaya tersembunyi. Di ujung talinya, seorang perempuan memantau gerak-geriknya—bukan untuk eksperimen ilmiah, melainkan demi sebuah misi: mendeteksi ranjau darat yang diam-diam mengintai kehidupan warga sipil. Dalam kesenyapan, makhluk kecil itu menjadi bagian dari perjuangan panjang melawan warisan konflik.

Sebagai penulis yang tertarik pada tema-tema kemanusiaan dan rekonsiliasi sosial, saya terpukau oleh laporan Kompas.id berjudul “Tikus yang Menjadi ’Pahlawan’ di Kamboja” (17 Juli 2025) karya Ignatius Danu Kusworo. Sekilas terdengar tak biasa—tikus pelacak ranjau? Namun di Kamboja, hewan ini adalah agen penyelamat dalam program yang dijalankan APOPO, organisasi nirlaba dari Afrika dan Eropa. Mereka tak hanya membersihkan tanah, tetapi juga mengurai ketakutan, mengembalikan harapan.

Lebih dari sekadar kisah tentang teknologi alternatif, ini adalah narasi tentang potensi dari yang kerap diremehkan, tentang kekuatan dari yang sederhana, dan tentang kerja sama lintas makhluk dalam menyembuhkan luka sejarah. Di jejak lembut para tikus ini, kita diajak merenung: pemulihan tidak selalu datang dari kekuatan besar, melainkan dari kepercayaan yang dibangun dalam kesenyapan dan ketekunan yang konsisten.

Tikus dan Ladang Maut: Aliansi Tak Terduga

Di tengah bentang Kamboja yang masih dibayangi trauma masa lalu, tersisa ribuan kilometer persegi lahan yang pernah ditanami ranjau. Ranjau-ranjau ini tidak hanya menyimpan potensi bahaya, tapi juga menahan kehidupan: anak-anak tak leluasa bermain, petani ragu mengolah tanah, dan mobilitas warga pun terbatas oleh rasa waswas.

Dalam situasi seperti ini, APOPO hadir dengan pendekatan tak lazim namun efektif: melatih tikus berkantong Afrika untuk mendeteksi bahan peledak. Dengan bobot ringan, tikus dapat menyusuri lahan tanpa memicu ranjau. Saat mendeteksi aroma TNT, mereka memberi sinyal dengan menggaruk tanah—metode yang efisien dan terjangkau jika dibandingkan dengan perangkat berteknologi tinggi.

Para pelatih seperti Mott Sreymom—seorang perempuan tangguh dari Kamboja—merawat tikus-tikus ini dengan penuh perhatian. Ia memberi makan, merawat tubuh mereka, bahkan mengolesi tabir surya di kaki dan buntut mereka agar tak terluka saat bertugas di bawah terik. Di ladang yang dulunya menyimpan kematian, tumbuh hubungan kemitraan antara manusia dan hewan, dilandasi kepercayaan dan rasa saling melindungi.

Refleksi Sosial: Ketika yang Diremehkan Menjadi Penyelamat

Tikus seringkali diasosiasikan dengan hal-hal negatif. Namun melalui kisah ini, kita dipaksa meninjau ulang persepsi tersebut. Di tangan APOPO, tikus justru menjadi simbol pengabdian, efisiensi, dan keberanian. Sebuah ironi yang indah—bahwa kekuatan terkadang datang dari arah yang tak terduga.

Kisah ini memberi cermin sosial yang dalam: nilai bukan ditentukan oleh citra, melainkan oleh kontribusi nyata. Di masyarakat kita, ada banyak figur “kecil”—pekerja informal, relawan lokal, pendidik komunitas—yang kerap luput dari perhatian. Namun mereka justru sering menjadi penggerak perubahan yang paling jujur dan berdampak. Ketika diberi ruang dan kepercayaan, mereka bisa menjadi penjaga stabilitas sosial.

Sebagaimana tikus pendeteksi ranjau bekerja dengan diam dan tekun, perubahan pun bisa dimulai dari hal-hal kecil: mendengarkan suara minor, memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat, dan menghargai peran siapa pun tanpa melihat latar belakang. Di situlah kita menemukan esensi dari keadilan sosial yang inklusif.

Anak-anak bermain di dekat peringatan ranjau darat dan kuil Buddha di perbatasan Desa Baru, Kamboja, 10/3/2005. (DAVID LONGSTREATH 
Anak-anak bermain di dekat peringatan ranjau darat dan kuil Buddha di perbatasan Desa Baru, Kamboja, 10/3/2005. (DAVID LONGSTREATH 

Bangsa dan Ketajaman Mendeteksi Krisis Sejak Dini

Salah satu keunggulan utama dari tikus pelacak adalah kepekaan penciumannya—mereka mampu mendeteksi ancaman tersembunyi jauh sebelum tampak di permukaan. Ini menjadi refleksi penting bagi negara mana pun: tentang pentingnya membangun sistem deteksi dini terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan.

Banyak krisis sebenarnya memberi tanda-tanda sebelum menjadi besar. Ketika suara warga mulai melemah, ketika keluhan kecil tidak ditanggapi, atau ketika ketimpangan perlahan mengakar, saat itulah sebenarnya sistem perlu peka. Dibutuhkan media yang independen, riset yang dihargai, dan ruang dialog yang terbuka untuk membangun mekanisme deteksi dini yang efektif.

Seperti halnya tikus pelacak yang membaca tanah dengan ketenangan, kita pun membutuhkan pendekatan yang tenang namun tajam: mendengarkan masyarakat, mengamati perubahan sosial, dan mengambil langkah sebelum terlambat. Dengan membangun budaya responsif, bangsa dapat tumbuh lebih tangguh menghadapi tantangan.

Mengubah Cara Kita Melihat: Dari Stigma menjadi Potensi

Pelajaran mendalam dari kisah ini adalah bagaimana sesuatu yang sebelumnya dianggap kotor, tidak berguna, bahkan menjijikkan, ternyata memiliki kemampuan untuk menyelamatkan kehidupan. Ini adalah cermin bagi kita agar tidak cepat menghakimi atau menutup mata terhadap potensi tersembunyi dalam masyarakat.

Banyak kelompok di sekitar kita yang sering kali tersisih—baik karena keterbatasan fisik, latar belakang ekonomi, maupun masa lalu mereka. Padahal, dengan pendekatan yang inklusif dan pelatihan yang tepat, mereka dapat menjadi kontributor penting bagi kemajuan. Sama seperti tikus pelacak, mereka membutuhkan ruang untuk tumbuh, bukan stigma untuk dibatasi.

Transformasi sosial yang sejati dimulai dari perubahan cara pandang. Saat kita belajar melihat dengan mata yang lebih bijak—tidak hanya berdasarkan reputasi, tetapi pada kemampuan dan dedikasi—maka bangsa ini akan lebih cepat memaksimalkan seluruh potensi manusianya. Dan dari situlah kekuatan sejati akan lahir.

Pembersihan Sejarah: Dari Simbol ke Sistem

Sejak 1992, lebih dari satu juta ranjau dan jutaan bahan peledak telah dibersihkan dari tanah Kamboja. Proses ini bukan hanya soal keselamatan, melainkan tentang pemulihan martabat. Setiap ranjau yang disingkirkan berarti satu langkah lebih dekat pada ruang hidup yang aman, pada masa depan yang bisa dibangun kembali tanpa rasa takut.

Namun pekerjaan fisik ini juga merepresentasikan kerja batin: membersihkan jejak trauma, mengurai ketegangan sosial, dan merajut kembali kepercayaan. Maka pembersihan ranjau bukan hanya sebuah proyek keamanan, tetapi juga perjalanan menuju rekonsiliasi dan penyembuhan kolektif.

Indonesia dan banyak negara lain dapat belajar dari semangat ini—bahwa untuk memulihkan bangsa, kita tidak hanya memerlukan program-program teknis, tetapi juga kesediaan untuk menghadapi masa lalu, mendengar suara masyarakat, dan membangun sistem yang adil dan berdaya. Kita semua memiliki ladang ranjau kita sendiri—dan membersihkannya butuh keberanian, kolaborasi, dan visi jangka panjang.

Kolaborasi Lintas Spesies, Lintas Sekat Sosial

Program APOPO bukan sekadar kisah tikus dan manusia. Ia adalah cerminan tentang kekuatan kolaborasi lintas batas. Tikus, anjing, dan manusia bekerja dalam harmoni, membentuk jaringan kerja yang saling melengkapi dan memperkuat. Kolaborasi ini menegaskan bahwa keberhasilan besar kadang dimulai dari hubungan yang sederhana namun tulus.

Dalam kehidupan berbangsa, pelajaran ini sangat relevan. Solusi tidak selalu harus datang dari pusat kekuasaan. Justru banyak inisiatif bermakna yang lahir dari komunitas, dari pinggiran, dari orang-orang yang tidak mencari sorotan. Merekalah yang sering kali memiliki kedekatan langsung dengan persoalan dan kepekaan terhadap solusi.

Oleh karena itu, sudah saatnya membuka ruang partisipatif yang lebih luas, mendorong keterlibatan lintas profesi, lintas generasi, dan lintas latar belakang. Di tengah dunia yang saling terhubung, kolaborasi adalah jembatan menuju solusi berkelanjutan. Kita semua bagian dari jejaring itu—dan masing-masing memiliki peran yang tak tergantikan.

Mott Sreymom (34), staf dari organisasi pembersihan ranjau kemanusiaan APOPO, mengoleskan tabir surya pada tikus pembersih ranjau (Kompas.co.id) 
Mott Sreymom (34), staf dari organisasi pembersihan ranjau kemanusiaan APOPO, mengoleskan tabir surya pada tikus pembersih ranjau (Kompas.co.id) 

Penutup: Menemukan Harapan dari Tanah yang Luka

Tikus pelacak ranjau bukanlah keajaiban biologis, tetapi cermin dari kekuatan kepercayaan dan ketekunan. Mereka menunjukkan bahwa menyembuhkan luka bangsa tidak harus selalu dimulai dari kekuatan besar, tetapi bisa berasal dari langkah kecil yang konsisten, dari hati yang tulus, dan dari kemauan untuk bekerja sama.

Di tengah realitas yang masih menyisakan luka sosial—baik oleh konflik, ketimpangan, maupun keterputusan antarwarga—kisah ini membawa cahaya kecil: bahwa potensi harapan bisa datang dari mana saja. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mempercayai, serta kebijaksanaan untuk merangkul yang selama ini tersembunyi.

Seperti kalimat bijak yang layak kita renungkan:
"Kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan menyelamatkan kita dari kegelapan, hingga kita mau percaya pada cahaya yang kecil."

Daftar Pustaka

  1. Kusworo, Ignatius Danu. 2025. “Tikus yang Menjadi ‘Pahlawan’ di Kamboja.” Kompas.com, 17 Juli 2025. Diakses 18 Juli 2025. https://www.kompas.com.

  2. Delgado, Anton L. 2025. “APOPO di Siem Reap: Tikus sebagai Mitra Pembersih Ranjau.” AP News, 11 Juni 2025. Diakses 18 Juli 2025. https://apnews.com/article/cambodia-rats-apopo.

  3. Longstreath, David. 2005. “Dokumentasi Ladang Ranjau Kamboja.” Associated Press, 10 Maret 2005. Arsip Foto AP. Diakses 18 Juli 2025. https://apimages.ap.org.

  4. APOPO. 2025. Mine Clearance & Animal Training Brief: Technical Summary and Field Results 2024–2025. Morogoro: APOPO Headquarters. Dokumen Internal. Diakses 15 Juli 2025 melalui permintaan tertutup.

  5. CMAA (Cambodian Mine Action Authority). 2004. Cambodia Landmine Survey and Casualty Report. Phnom Penh: CMAA Publications. Diakses 16 Juli 2025. https://www.cmaa.gov.kh/report.

  6. Bull, Gregory. 2023. “Runa the Rat at San Diego Zoo.” AP Photo, 13 April 2023. Diakses 17 Juli 2025. https://apimages.ap.org.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun