Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Kala Ciburuy Ditinggal Pergi: Di Antara Gemerlap Lembang dan Harapan yang Belum Pulang

29 Juni 2025   13:03 Diperbarui: 29 Juni 2025   13:03 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata Ciburuy Bandung Barat mengalami sepi pengunjung akibat banyaknya objek wisata baru  di Lembang. /Pikiran Rakyat /Deni S. 

Kala Ciburuy Sunyi Ditinggal Pergi: Di Antara Gemerlap Lembang dan Harapan yang Belum Pulang
“Kita kehilangan bukan karena dilupakan, tapi karena tak cukup disiapkan untuk diingat kembali.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Pagi di tepian Danau Ciburuy bukan lagi soal lengking tawa anak-anak dan debur riang dayung perahu wisata. Kini, yang terdengar lebih sering adalah desir angin, rintih kios-kios kosong, dan tatapan pedagang yang menggantungkan harap pada kunjungan musiman. Dalam sepi yang pelan namun pasti ini, Ciburuy tidak hanya ditinggalkan oleh wisatawan, tetapi juga oleh narasi besar yang selama ini membungkus Lembang dengan wangi kemasan pariwisata modern.

Berita yang ditulis Pikiran Rakyat pada 28 Juni 2025 bertajuk “Wisata Ciburuy Lesu, Pedagang Lokal Merana di Tengah Sepinya Pengunjung” membuka tabir kegetiran ini. Seorang pedagang lama, Lia, menjadi saksi hidup pergeseran zaman dan destinasi. Ciburuy—dengan riwayatnya sebagai danau warisan dan ruang rekreasi warga setempat—kini merana di persimpangan kompetisi pariwisata. Tempat yang dahulu ramai oleh wisatawan lokal, kini hanya sekadar persinggahan, bukan tujuan.

Mengapa narasi seperti ini penting diangkat? Karena di balik data kunjungan yang menurun, ada krisis identitas destinasi, ada ketimpangan narasi antara pusat dan pinggiran wisata. Di tengah geliat Lembang sebagai bintang utama Bandung Raya, Ciburuy seakan menjadi bayang-bayang yang terlupakan. Inilah urgensinya: bukan sekadar menyelamatkan objek wisata, tapi mengembalikan daya hidup ruang-ruang lokal yang dulu menjadi denyut pariwisata rakyat.

1. Lembang Mendulang, Ciburuy Menahan Gelombang

Gemerlap Lembang dengan deretan glamping, kafe tematik, hingga atraksi digital membuat daerah-daerah di sekitarnya seperti Ciburuy tampak kusam di mata wisatawan baru. Transformasi selera wisata yang mengarah pada “Instagramable destination” tidak memberi cukup ruang bagi Ciburuy untuk bersolek sesuai zamannya.

Namun, bukan berarti Ciburuy kalah karena kurang menarik. Ia kalah karena kalah dikelola narasinya. Pemerataan promosi pariwisata masih menjadi tantangan besar di Bandung Barat. Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana pembangunan pariwisata sering kali lebih menekankan investasi kapital, bukan revitalisasi kultural.

Harus diakui, posisi Ciburuy yang tidak memiliki akses secepat dan sepopuler Lembang turut menyumbang penurunan kunjungan. Tetapi, menyalahkan lokasi tanpa memperbaiki sistem promosi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan wisata adalah jalan pintas yang menyakitkan.

2. Identitas Lokal yang Menguap dalam Kabut Komersialisasi

Ciburuy bukan sekadar danau; ia adalah ruang perjumpaan warisan budaya, kuliner rakyat, dan ekosistem ekonomi lokal. Namun, ketika nilai-nilai itu tidak ditampilkan sebagai kekuatan utama, identitas lokal pun mudah dikalahkan oleh gimmick komersial.

Wisata Ciburuy seolah kehilangan wajahnya di tengah kompetisi citra. Ketika promosi pariwisata lebih menonjolkan fasilitas mewah ketimbang kekayaan kultural, maka daerah seperti Ciburuy akan terpinggirkan. Ini adalah bentuk krisis naratif—di mana nilai lokal tidak lagi dianggap layak untuk dijual.

Padahal, kekuatan wisata sejati sering kali lahir dari keaslian. Perahu kayu, warung nasi timbel, senyum pedagang tua—itulah daya tarik Ciburuy yang tak bisa ditiru. Maka, strategi kebangkitan bukan dengan meniru Lembang, tetapi menegaskan keunikan diri.

3. Wisata Sesaat dan Efek Domino bagi Ekonomi Mikro

Apa dampaknya dari menjadi "tempat singgah"? Jawabannya: ekonomi rakyat runtuh perlahan. Ketika wisatawan hanya mampir sebentar untuk makan atau sekadar beristirahat, maka siklus belanja, konsumsi lokal, dan keterlibatan ekonomi setempat tidak terjadi.

Pedagang seperti Lia adalah potret dari efek domino pariwisata yang tidak berkeadilan. Mereka terdampak langsung oleh turunnya kunjungan, tapi tidak diberi cukup ruang untuk terlibat dalam promosi atau pengembangan. Padahal, mereka adalah penjaga setia destinasi.

Pemerintah daerah perlu mengubah cara pandang: revitalisasi wisata bukan hanya pembangunan infrastruktur, tapi juga pemberdayaan SDM lokal. Ciburuy harus menjadi episentrum ekonomi mikro yang hidup, bukan sekadar lanskap yang ditinggalkan.

4. Antara Momentum Musiman dan Strategi Jangka Panjang

Perahu wisata Ciburuy tidak beroperasi akibat sepi pengunjung. (Pikiran Rakyat)
Perahu wisata Ciburuy tidak beroperasi akibat sepi pengunjung. (Pikiran Rakyat)

Ya, saat libur sekolah jumlah pengunjung naik, seperti diakui Lia. Tapi apakah ini cukup? Tidak. Ketergantungan pada musim adalah tanda bahwa suatu destinasi tidak memiliki strategi jangka panjang yang berkelanjutan.

Ciburuy membutuhkan kalender event, promosi lintas platform, kolaborasi dengan pelaku kreatif lokal, serta pembaruan konsep wisata berbasis pengalaman, bukan hanya panorama. Ketika wisatawan bisa merasakan dan terlibat, maka keterikatan akan tumbuh.

Melibatkan komunitas seni, penggiat budaya lokal, dan pemuda desa dalam pengemasan ulang pengalaman wisata adalah peluang besar. Momentum musiman harus dikembangkan menjadi jejaring kehadiran rutin.

5. Menata Ulang Arah: Dari Pinggiran Menjadi Titik Tujuan

Kini saatnya berpikir ulang: apakah semua harus dikonsentrasikan ke Lembang? Mengapa tidak memperluas cakupan destinasi sehingga wisatawan punya alternatif yang seimbang? Revitalisasi Ciburuy dapat menjadi langkah percontohan untuk membangun narasi pariwisata yang lebih merata dan adil.

Pendekatan yang bisa ditempuh antara lain mengembangkan tur wisata air, jelajah budaya desa, hingga paket wisata edukatif yang melibatkan sekolah dan komunitas. Ciburuy harus menjadi tujuan, bukan pelengkap.

Jika dikelola dengan tepat, Ciburuy justru bisa menjadi simbol bagaimana wisata berbasis rakyat dapat bangkit kembali. Bukan melalui megaproyek, tapi dengan kepekaan dan keberpihakan.

Penutup

"Ciburuy tak meminta gemerlap, hanya agar diingat sebagai rumah yang pernah membuat banyak hati tenang." 

Dalam lanskap pariwisata, yang paling cepat tidak selalu yang paling lestari. Yang paling glamor belum tentu yang paling membekas. Dan yang hari ini ditinggalkan, bisa jadi yang esok dirindukan. Ciburuy mungkin sedang sunyi, tapi bukan berarti ia mati.

Seperti kata Rendra, “Bersikap adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan.” Maka berpikirlah adil bagi Ciburuy—destinasi yang dulu memberi ruang bahagia bagi banyak keluarga. Kini saatnya kita, masyarakat, pemerintah, dan pelaku wisata, mengambil bagian dalam menyusun ulang jejak langkahnya.

Jika Lembang adalah mercusuar, maka Ciburuy bisa menjadi pelabuhan: tempat kembali, tempat berlabuh, dan tempat segala kenangan dijaga dari kepunahan. Wallahu a'lam

Daftar Pustaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun