2. Identitas Lokal yang Menguap dalam Kabut Komersialisasi
Ciburuy bukan sekadar danau; ia adalah ruang perjumpaan warisan budaya, kuliner rakyat, dan ekosistem ekonomi lokal. Namun, ketika nilai-nilai itu tidak ditampilkan sebagai kekuatan utama, identitas lokal pun mudah dikalahkan oleh gimmick komersial.
Wisata Ciburuy seolah kehilangan wajahnya di tengah kompetisi citra. Ketika promosi pariwisata lebih menonjolkan fasilitas mewah ketimbang kekayaan kultural, maka daerah seperti Ciburuy akan terpinggirkan. Ini adalah bentuk krisis naratif—di mana nilai lokal tidak lagi dianggap layak untuk dijual.
Padahal, kekuatan wisata sejati sering kali lahir dari keaslian. Perahu kayu, warung nasi timbel, senyum pedagang tua—itulah daya tarik Ciburuy yang tak bisa ditiru. Maka, strategi kebangkitan bukan dengan meniru Lembang, tetapi menegaskan keunikan diri.
3. Wisata Sesaat dan Efek Domino bagi Ekonomi Mikro
Apa dampaknya dari menjadi "tempat singgah"? Jawabannya: ekonomi rakyat runtuh perlahan. Ketika wisatawan hanya mampir sebentar untuk makan atau sekadar beristirahat, maka siklus belanja, konsumsi lokal, dan keterlibatan ekonomi setempat tidak terjadi.
Pedagang seperti Lia adalah potret dari efek domino pariwisata yang tidak berkeadilan. Mereka terdampak langsung oleh turunnya kunjungan, tapi tidak diberi cukup ruang untuk terlibat dalam promosi atau pengembangan. Padahal, mereka adalah penjaga setia destinasi.
Pemerintah daerah perlu mengubah cara pandang: revitalisasi wisata bukan hanya pembangunan infrastruktur, tapi juga pemberdayaan SDM lokal. Ciburuy harus menjadi episentrum ekonomi mikro yang hidup, bukan sekadar lanskap yang ditinggalkan.
4. Antara Momentum Musiman dan Strategi Jangka Panjang
Ya, saat libur sekolah jumlah pengunjung naik, seperti diakui Lia. Tapi apakah ini cukup? Tidak. Ketergantungan pada musim adalah tanda bahwa suatu destinasi tidak memiliki strategi jangka panjang yang berkelanjutan.