Ciburuy membutuhkan kalender event, promosi lintas platform, kolaborasi dengan pelaku kreatif lokal, serta pembaruan konsep wisata berbasis pengalaman, bukan hanya panorama. Ketika wisatawan bisa merasakan dan terlibat, maka keterikatan akan tumbuh.
Melibatkan komunitas seni, penggiat budaya lokal, dan pemuda desa dalam pengemasan ulang pengalaman wisata adalah peluang besar. Momentum musiman harus dikembangkan menjadi jejaring kehadiran rutin.
5. Menata Ulang Arah: Dari Pinggiran Menjadi Titik Tujuan
Kini saatnya berpikir ulang: apakah semua harus dikonsentrasikan ke Lembang? Mengapa tidak memperluas cakupan destinasi sehingga wisatawan punya alternatif yang seimbang? Revitalisasi Ciburuy dapat menjadi langkah percontohan untuk membangun narasi pariwisata yang lebih merata dan adil.
Pendekatan yang bisa ditempuh antara lain mengembangkan tur wisata air, jelajah budaya desa, hingga paket wisata edukatif yang melibatkan sekolah dan komunitas. Ciburuy harus menjadi tujuan, bukan pelengkap.
Jika dikelola dengan tepat, Ciburuy justru bisa menjadi simbol bagaimana wisata berbasis rakyat dapat bangkit kembali. Bukan melalui megaproyek, tapi dengan kepekaan dan keberpihakan.
Penutup
"Ciburuy tak meminta gemerlap, hanya agar diingat sebagai rumah yang pernah membuat banyak hati tenang."
Dalam lanskap pariwisata, yang paling cepat tidak selalu yang paling lestari. Yang paling glamor belum tentu yang paling membekas. Dan yang hari ini ditinggalkan, bisa jadi yang esok dirindukan. Ciburuy mungkin sedang sunyi, tapi bukan berarti ia mati.
Seperti kata Rendra, “Bersikap adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan.” Maka berpikirlah adil bagi Ciburuy—destinasi yang dulu memberi ruang bahagia bagi banyak keluarga. Kini saatnya kita, masyarakat, pemerintah, dan pelaku wisata, mengambil bagian dalam menyusun ulang jejak langkahnya.
Jika Lembang adalah mercusuar, maka Ciburuy bisa menjadi pelabuhan: tempat kembali, tempat berlabuh, dan tempat segala kenangan dijaga dari kepunahan. Wallahu a'lam.