Zero ODOL: Menjaga Jalan, Menyelamatkan Nyawa
"Hukum tanpa keberpihakan pada keselamatan hanyalah catatan dingin dalam dokumen negara."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada 20 Juni 2025, Kompas.com merilis dua laporan soal kebijakan Zero ODOL. Presiden Prabowo mendukung percepatan target bebas truk kelebihan muatan dari 2026 ke akhir 2025. Langkah ini dinilai mendesak di tengah darurat keselamatan jalan dan kerusakan infrastruktur.
Data Bappenas menunjukkan ODOL jadi penyebab kecelakaan tertinggi kedua dan kerugian negara Rp 41 triliun tiap tahun. Namun, kebijakan ini memicu protes sopir truk yang merasa tertekan sistem logistik yang timpang dan tak adil.
Artikel ini membedah kebijakan Zero ODOL dengan pendekatan kritis dan solutif—menimbang urgensi regulasi, tantangan lapangan, serta arah transformasi logistik yang berkeadilan.
1. Keselamatan Jalan Bukan Kompromi
Kebijakan Zero ODOL dilandasi oleh kepentingan utama: melindungi nyawa. Ketika 10,5% kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kendaraan ODOL, maka negara tidak bisa menunda. Dalam konteks ini, langkah Presiden Prabowo perlu diapresiasi sebagai bentuk keberpihakan pada keselamatan publik. ODOL bukan sekadar pelanggaran teknis, tapi ancaman sistemik terhadap pengguna jalan.
Namun, penegakan hukum selama ini lemah dan inkonsisten. Banyak truk ODOL masih beroperasi bebas, menunjukkan lemahnya kontrol di lapangan. Kritik yang patut dilontarkan adalah soal ketidaktegasan penindakan oleh aparat dan masih adanya "toleransi diam-diam" yang membuka celah suap dan korupsi.
Solusinya tidak cukup hanya dengan Perpres baru. Dibutuhkan konsolidasi antarinstansi penegak hukum, pengawasan real-time berbasis teknologi seperti WIM (Weigh-in-Motion), dan integrasi sistem data pelanggaran antar daerah untuk memutus jaringan pelanggaran yang sistemik.
2. Beban Jalan, Beban Negara
Kerusakan jalan akibat ODOL bukan hanya soal anggaran, melainkan soal keadilan fiskal dan efisiensi ekonomi. Negara menggelontorkan Rp 41 triliun setiap tahun untuk memperbaiki kerusakan jalan yang sebagian besar diakibatkan oleh kendaraan kelebihan muatan. Padahal, anggaran tersebut bisa dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan desa.
Truk-truk ODOL yang memaksakan beban hingga 50 ton merusak jalan yang hanya dirancang untuk 13 ton. Ini bukan sekadar pelanggaran, melainkan pengkhianatan terhadap kontrak sosial pembangunan infrastruktur. Akibatnya, pelayanan publik terganggu, tarif tol mandek, dan investasi jalan tol terancam.