Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Ludah dan Logika: Mbah Danu dan Tubrukan Dunia Lama-Baru

23 Juni 2025   19:38 Diperbarui: 23 Juni 2025   19:38 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Danu dan Tubrukan Dunia Lama-Baru (dok. Goodreads)

Antara Ludah dan Logika: Mbah Danu dan Tubrukan Dunia Lama-Baru

"Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah. Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Cerpen "Mbah Danu" karya Nugroho Notosoesanto pertama kali dimuat dalam kumpulan cerpen Tiga Kota (1966) dan menjadi salah satu karya penting yang menggambarkan konflik epistemik antara pengobatan tradisional dan modern di Indonesia. Lewat narasi jenaka namun tajam, cerpen ini menyindir superioritas ilmu medis modern sekaligus mempertanyakan otoritas tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakat.

Ketertarikan terhadap cerpen ini muncul dari relevansi temanya terhadap isu kesehatan publik dan literasi medis yang masih menjadi tantangan serius di banyak wilayah Indonesia. Perdebatan antara pengobatan berbasis sains dan praktik alternatif sering kali tak hanya berlangsung di ruang privat, melainkan meluas ke ranah ideologis yang mempertaruhkan identitas dan kehormatan keluarga.

Dengan pendekatan naratif yang dramatis dan penuh simbolisme, cerpen ini layak dikaji lebih dalam bukan hanya sebagai teks sastra, tetapi juga sebagai dokumen budaya yang menggambarkan pergulatan antara keyakinan kolektif dan rasionalitas ilmiah. Ulasan ini akan memetakan persoalan dalam lima aspek utama: karakterisasi, konflik epistemik, dimensi simbolik, kritik sosial, serta respons gender, ditutup dengan tinjauan keunggulan dan kelemahannya.

Teks Cerpen: 

“Mbah Danu”
Karya Nugroho Notosoesanto

Wajahnya kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belalang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, dan jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang, sekitar tahun tiga puluhan, ia lebih terkenal daripada Pendeta Osborn di Jakarta pada pertengahan tahun 1954 karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu, cara pengobatan Mbah Danu tergolong rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis: Mbah Danu menegaskan bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu, satu-satunya cara untuk menyembuhkan adalah dengan menghalau makhluk yang merugikan kesehatan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun