****
Cerita berakhir ambigu: Mbah Danu tetap berdiri dengan wibawanya, sementara Mr. Salyo, sang pembawa sains, diliputi kegagalan dan keraguan. Ketegangan antara dua dunia itu tak selesai, justru mengendap sebagai residu sosial.
1. Karakterisasi: Antara Heroisme dan Karikatur
Karakter Mbah Danu digambarkan eksentrik, kasar, tapi penuh percaya diri. Dengan susur tembakau dan sorot mata membara, ia tampil bak juru selamat. Noegroho berhasil membangun figur karikatural yang tetap menimbulkan simpati. Dalam konteks sosial-budaya, tokoh ini mencerminkan wajah dukun Jawa yang bukan hanya penyembuh, tetapi juga aktor sosial dan spiritual.
Sebaliknya, Mr. Salyo tampil rasional dan modern, namun juga kaku dan arogan. Penolakannya terhadap praktik Mbah Danu tidak hanya didasari logika medis, melainkan sikap superior terhadap lokalitas. Ia bukan sekadar pembawa sains, tapi juga agen dominasi epistemik. Kontras inilah yang menjadikan cerpen hidup: dua dunia saling menihilkan, tapi juga saling mencerminkan kelemahannya.
Tokoh perempuan, seperti Nyonya Salyo dan Bu Jaksa, hadir sebagai penengah. Mereka tidak vokal, tapi sikap netral mereka mencerminkan dilema perempuan antara norma keluarga, kesehatan, dan otonomi tubuh. Cerpen ini menyimpan ironi: siapa yang benar tidak semudah siapa yang berilmu.
2. Konflik Epistemik: Medis vs Magis
Cerpen ini menempatkan konflik utama bukan pada alur, melainkan pada cara pandang tentang sakit dan penyembuhan. Mbah Danu percaya pada roh jahat dan "angin", sedangkan Mr. Salyo dan Dokter Umar mengandalkan diagnosa dan pil kina. Ketika Mbok Rah meninggal meski sudah diberi obat medis, masyarakat dengan cepat menyimpulkan bahwa itu akibat "tidak pamit" kepada Mbah Danu.
Inilah bentuk ketegangan epistemik: sains medis menghadapi logika lokal yang berbasis spiritualitas dan pengalaman empiris kolektif. Alih-alih menyudutkan satu pihak, cerpen ini membiarkan pembaca menimbang. Apakah kematian Mbok Rah karena salah terapi atau karena pilnya tercecer? Tidak ada jawaban pasti.
Dengan strategi naratif semacam ini, Noegroho menawarkan ruang dialog antar-disiplin. Bukan untuk mencari kebenaran tunggal, tetapi untuk memahami mengapa masyarakat tetap percaya pada Mbah Danu meski dunia telah berubah.
3. Dimensi Simbolik: Ludah, Lidi, dan Bale-Bale