Antara Ludah dan Logika: Mbah Danu dan Tubrukan Dunia Lama-Baru
"Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah. Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Cerpen "Mbah Danu" karya Nugroho Notosoesanto pertama kali dimuat dalam kumpulan cerpen Tiga Kota (1966) dan menjadi salah satu karya penting yang menggambarkan konflik epistemik antara pengobatan tradisional dan modern di Indonesia. Lewat narasi jenaka namun tajam, cerpen ini menyindir superioritas ilmu medis modern sekaligus mempertanyakan otoritas tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakat.
Ketertarikan terhadap cerpen ini muncul dari relevansi temanya terhadap isu kesehatan publik dan literasi medis yang masih menjadi tantangan serius di banyak wilayah Indonesia. Perdebatan antara pengobatan berbasis sains dan praktik alternatif sering kali tak hanya berlangsung di ruang privat, melainkan meluas ke ranah ideologis yang mempertaruhkan identitas dan kehormatan keluarga.
Dengan pendekatan naratif yang dramatis dan penuh simbolisme, cerpen ini layak dikaji lebih dalam bukan hanya sebagai teks sastra, tetapi juga sebagai dokumen budaya yang menggambarkan pergulatan antara keyakinan kolektif dan rasionalitas ilmiah. Ulasan ini akan memetakan persoalan dalam lima aspek utama: karakterisasi, konflik epistemik, dimensi simbolik, kritik sosial, serta respons gender, ditutup dengan tinjauan keunggulan dan kelemahannya.
Teks Cerpen:
“Mbah Danu”
Karya Nugroho Notosoesanto
Wajahnya kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belalang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, dan jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang, sekitar tahun tiga puluhan, ia lebih terkenal daripada Pendeta Osborn di Jakarta pada pertengahan tahun 1954 karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu, cara pengobatan Mbah Danu tergolong rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis: Mbah Danu menegaskan bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu, satu-satunya cara untuk menyembuhkan adalah dengan menghalau makhluk yang merugikan kesehatan itu.
Si Nah, pelayan di keluarga Pak Jaksa (pensiunan), telah sebulan sakit demam.
Keadaannya makin lama makin payah. Matanya hanya kelihatan putihnya, mulutnya berbuih, dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang—kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan percaya bahwa suatu saat Nah akan menjelma menjadi macan gadungan.
Menurut kabar-kabar yang tersiar cepat seperti berita radio, Mbah Danu sedang tur. Rutenya: Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora—berarti hampir pulang.
Dan benar, ketika Nah tengah mengeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama antiknya dengan pemiliknya.
Ia menembusi badan Nah dengan pandangan membara, sambil memutar-mutar susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh membasahi bantal kumal seperti tempat duduk jip militer tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
“Ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi dalam pertunjukan wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikar ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar karena Pak Jaksa memiliki 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang ujung lunak sapu lidi itu, kemudian bonggolnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm diayunkan ke atas dan dipukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot dan menegang melihat serta mendengar pukulan dahsyat itu.
“Ngeoooong!” keluar dari mulut Nah, membuat bulu-bulu penonton berdiri.
“Mampus engkau sekarang!” seru Mbah Danu bengis, dan sapu lidi terus menghantam pantat Nah dengan irama rumba. Nah tidak mengeong lagi, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin hendak lari.
“Minggat! Ayo minggat!” teriak Mbah Danu dengan murka. Dengan tendangan jitu, Nah ditengkurapkannya. Deraan kembali menghujam pantat Nah yang kini sadar bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda, atau singa.
“Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuuung!!” tangisnya menggaung.
“Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora hingga tetangga dan pelintas jalan masuk ke rumah untuk menyelidiki sumber suara ngeri itu.
“Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.
“Minggat! Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran radius setengah meter.
“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” tanya Nah sambil menangis dan mencoba merangkak.
Sikap Mbah Danu seketika berubah.
“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara minor yang lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”
Sebagai penegas perkataannya, ia tegak sekali lagi dan memukulkan sapu lidi sedemikian keras ke badan Nah hingga si sakit rebah dan mengerang. Peluhnya bercucuran membasahi pakaian.
“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu sambil menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah, seperti Batari Durga menari di atas mayat. Nafas si sakit seperti ububan pandai besi, dan lengannya diacung-acungkan untuk menjaga keseimbangan.
Setelah selesai, ia melentangkan badan Nah yang kini kuyup oleh keringat dan mukanya merah padam.
Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat agar para penonton yang tak berkepentingan keluar. Pintu ditutup, dan ia kembali ke pasiennya. Dengan gerakan tangkas, pakaian Nah dibuka dan seperti orang kesurupan, ia meremas-remas seluruh tubuh Nah, menggeliatinya di tempat-tempat sensitif. Nah mula-mula menggelepar, akhirnya tertawa-tawa geli seperti perawan yang sehat. Seperempat jam kemudian, Mbah Danu melepaskan dan tegak di atas lututnya.
“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah,” katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Nah yang tadi seperti setengah mati, kini duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.
“Tidurlah dulu sampai besok,” kata Mbah Danu sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Ia memijat kepala Nah sebentar lalu memercikkan ludah sedikit ke dahinya. Setelah itu, ia keluar untuk minum kopi.
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa—yang merupakan sebagian dari pengaruhnya di daerah yang terbentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung—mengalami tantangan ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya.
Beberapa hari setelah kedatangannya, Nyonya Salyo mengeluhkan sakit kepala dan pegal-pegal di tubuh.
Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh memanggil Mbah Danu.
“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengar gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja, akan saya usir.” Lalu Mbah Danu mulai berpraktik. Pertama-tama, ibu jarinya—keduanya—ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo hingga sangat dalam, dan si pasien mencetuskan suara yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekan dengan kedua telapak tangan, sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Lalu Mbah Danu mengombinasikan kedua pijatan tersebut sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan bawah dengan berletusan.
Justru ketika itu, Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras, Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar, seperti layaknya Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh orang sakit.
Kemudian istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijatan itu bisa merusak rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tidak diizinkan menginjak lantai rumah itu ketika menantu akademikus Pak Jaksa datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya, kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
Pertentangan kedua antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras—tepat saat menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang. Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh memanggil Mbah Danu, karena Mbok Rah sudah mulai mengigau. Namun Mr. Salyo, dengan penuh pertimbangan, memilih memanggil Dokter Umar Chattab. Kebetulan, Dokter Umar datang lebih dahulu karena ia memiliki kendaraan, sementara Mbah Danu tidak. Maka yang bertindak adalah tangan dan stetoskop Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
“Malaria,” diagnosis Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberikan resep kina—yang pada masa itu satu-satunya obat mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk lain tentang makan dan perawatan, Pak Dokter pulang.
Penyakit Mbok Rah semakin menjadi. Pak Jaksa, Bu Jaksa, dan tetangga-tetangga dekat tahu benar apa penyebabnya: kualat Mbah Danu! Mereka mendesak agar Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai tanggapan, Mr. Salyo kembali memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini menjadi perkara kehormatan baginya, dan hubungan mertua dengan menantu menjadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah mencoba bersikap netral. Namun seperti dalam politik, ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak. Meski begitu, ia tetap mempertahankan sikap pasif nan bebas itu.
Dokter Umar Chattab heran.
“Kinanya sudah Tuan berikan sesuai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab pulang tanpa mengubah keputusannya. Hanya saja, ia berpesan agar saat menelan pil, si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah semakin buruk, dan malamnya ia meninggal dunia.
Perang dingin mencair menjadi gugatan-gugatan lisan yang pedas, meskipun tidak disampaikan secara langsung. Tanpa dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke kamar tamu. Asbaknya penuh puntung sigaret.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menenangkan suaminya.
“Mengapa, Jeng? Mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan penuh gairah sambil memeluk bahu istrinya, yang tak menjawab.
“Kita tak bisa percaya pada takhayul semacam itu, bukan?” katanya lagi.
“Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn,” kata Nyonya Salyo perlahan.
Ketika fajar menyingsing, persiapan penguburan dimulai. Pada pukul tujuh pagi, orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkat tubuh Mbok Rah keluar. Mr. Salyo dan Ny. Salyo ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar—tempat mereka dan Dokter Umar Chattab sebelumnya menerima kekalahan dari mertua dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suaminya di kamar itu, di dalam hati kecilnya cenderung pada ayah bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.
Hawa di dalam kamar pengap, menyesakkan dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka jendela lebar-lebar, membiarkan sinar matahari pagi masuk membanjir. Tiba-tiba muncul sosok di ambang pintu: Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandangan terakhir ke bale-bale tempat jenazah semalam terbaring.
Tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya terbelalak. Nyonya Salyo dan Mbah Danu ikut menoleh. Mereka pun melihat: pil kina tergeletak di lantai, di bawah bale-bale tempat Mbok Rah dirawat.
Sinopsis Cerita
Cerita bermula dari popularitas Mbah Danu sebagai dukun penyembuh yang terkenal di wilayah Rembang pada era 1930-an. Suatu hari, ia diminta menyembuhkan pelayan keluarga Pak Jaksa, Si Nah, yang mengalami gangguan mirip kesurupan. Dengan metode keras penuh simbolik—pukulan sapu lidi, muntahan ludah, dan remasan fisik—Mbah Danu berhasil "menyadarkan" Nah. Aksi ini disaksikan sebagai keajaiban, memperkokoh status dukun itu.
Konflik mulai muncul ketika menantu Pak Jaksa yang terdidik, Mr. Salyo, dan istrinya berkunjung. Ketika Nyonya Salyo mengeluh sakit, Mbah Danu mencoba menerapkan metodenya, tapi diinterupsi oleh Mr. Salyo yang merasa intervensi itu tak senonoh dan berbahaya. Puncak konflik terjadi saat Mbok Rah sakit parah. Mr. Salyo memilih memanggil dokter resmi, namun Mbok Rah meninggal. Penemuan pil kina yang terselip di bawah bale membuat publik bertanya-tanya siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.
****
Cerita berakhir ambigu: Mbah Danu tetap berdiri dengan wibawanya, sementara Mr. Salyo, sang pembawa sains, diliputi kegagalan dan keraguan. Ketegangan antara dua dunia itu tak selesai, justru mengendap sebagai residu sosial.
1. Karakterisasi: Antara Heroisme dan Karikatur
Karakter Mbah Danu digambarkan eksentrik, kasar, tapi penuh percaya diri. Dengan susur tembakau dan sorot mata membara, ia tampil bak juru selamat. Noegroho berhasil membangun figur karikatural yang tetap menimbulkan simpati. Dalam konteks sosial-budaya, tokoh ini mencerminkan wajah dukun Jawa yang bukan hanya penyembuh, tetapi juga aktor sosial dan spiritual.
Sebaliknya, Mr. Salyo tampil rasional dan modern, namun juga kaku dan arogan. Penolakannya terhadap praktik Mbah Danu tidak hanya didasari logika medis, melainkan sikap superior terhadap lokalitas. Ia bukan sekadar pembawa sains, tapi juga agen dominasi epistemik. Kontras inilah yang menjadikan cerpen hidup: dua dunia saling menihilkan, tapi juga saling mencerminkan kelemahannya.
Tokoh perempuan, seperti Nyonya Salyo dan Bu Jaksa, hadir sebagai penengah. Mereka tidak vokal, tapi sikap netral mereka mencerminkan dilema perempuan antara norma keluarga, kesehatan, dan otonomi tubuh. Cerpen ini menyimpan ironi: siapa yang benar tidak semudah siapa yang berilmu.
2. Konflik Epistemik: Medis vs Magis
Cerpen ini menempatkan konflik utama bukan pada alur, melainkan pada cara pandang tentang sakit dan penyembuhan. Mbah Danu percaya pada roh jahat dan "angin", sedangkan Mr. Salyo dan Dokter Umar mengandalkan diagnosa dan pil kina. Ketika Mbok Rah meninggal meski sudah diberi obat medis, masyarakat dengan cepat menyimpulkan bahwa itu akibat "tidak pamit" kepada Mbah Danu.
Inilah bentuk ketegangan epistemik: sains medis menghadapi logika lokal yang berbasis spiritualitas dan pengalaman empiris kolektif. Alih-alih menyudutkan satu pihak, cerpen ini membiarkan pembaca menimbang. Apakah kematian Mbok Rah karena salah terapi atau karena pilnya tercecer? Tidak ada jawaban pasti.
Dengan strategi naratif semacam ini, Noegroho menawarkan ruang dialog antar-disiplin. Bukan untuk mencari kebenaran tunggal, tetapi untuk memahami mengapa masyarakat tetap percaya pada Mbah Danu meski dunia telah berubah.
3. Dimensi Simbolik: Ludah, Lidi, dan Bale-Bale
Objek-objek dalam cerpen ini mengandung simbolisme kuat. Ludah Mbah Danu bukan sekadar cairan tubuh, melainkan medium penyembuhan yang sakral. Sapu lidi menjadi alat pemukul roh jahat, tapi juga simbol kuasa sosial yang melegitimasi kekerasan atas nama tradisi. Bale-bale tempat Mbok Rah dirawat dan tempat pil kina tercecer menjadi metafora dari ruang tarik-menarik dua dunia: medis dan magis.
Mbah Danu, dalam tariannya di atas tubuh Nah, digambarkan seperti Batari Durga—dewi kematian dan pelindung. Simbol ini menyiratkan bahwa penyembuhan dalam logika tradisional selalu bersentuhan dengan dunia spiritual dan kekuatan adikodrati.
Tak kalah penting adalah cahaya matahari yang masuk saat jendela dibuka. Di akhir cerita, sinar itu menerangi kebenaran tersembunyi: pil kina tak tertelan. Namun bahkan cahaya itu tak mampu memadamkan kekuatan simbolik Mbah Danu. Kebenaran empiris dan kepercayaan metafisik tetap bertubrukan.
4. Kritik Sosial: Tradisi sebagai Kekuasaan
Noegroho tak semata-mata memotret pertarungan ilmu, melainkan menguliti bagaimana tradisi bisa menjadi alat kekuasaan. Mbah Danu tidak hanya menyembuhkan, tapi juga menguasai tubuh pasien. Adegan "pemeriksaan" terhadap Nyonya Salyo bisa dibaca sebagai bentuk kekerasan simbolik dan dominasi tubuh perempuan.
Namun cerpen ini juga menyentil cara modernitas merebut ruang sosial dengan gaya imperatif. Mr. Salyo yang melarang Mbah Danu menginjak rumah menunjukkan bahwa modernitas bisa serupa otoritarianisme baru. Alih-alih membuka ruang dialog, ia membawa klaim absolut yang tak kalah berbahaya.
Dengan gaya satire dan hiperbola, Noegroho mengajak pembaca tertawa getir. Pengobatan menjadi panggung kekuasaan, bukan sekadar terapi tubuh. Dalam benturan tradisi dan sains, yang kalah justru tubuh pasien—seperti Mbok Rah—yang menjadi korban dari ego epistemik dua pihak.
5. Perspektif Gender: Tubuh Perempuan sebagai Arena Konflik
Cerpen ini menyimpan kritik tajam terhadap bagaimana tubuh perempuan dijadikan ajang legitimasi praktik penyembuhan. Nyonya Salyo yang dipijat dan ditekan oleh Mbah Danu tanpa banyak protes mencerminkan bagaimana perempuan berada di posisi pasif dalam kedua rezim: baik tradisi maupun medis.
Bahkan ketika Mr. Salyo marah dan menyalahkan terapi itu bisa merusak rahim istrinya, ia tetap bicara tentang tubuh perempuan sebagai objek. Nyonya Salyo tak pernah sepenuhnya menjadi subjek otonom. Ini menyiratkan bahwa dalam konflik epistemik ini, tubuh perempuan rentan menjadi alat justifikasi.
Respons pasif Nyonya Salyo juga merefleksikan dilema perempuan terdidik di tengah benturan nilai keluarga dan pengetahuan modern. Ia memilih netral, tapi netralitas ini juga berarti pembungkaman. Cerpen ini dengan halus mengajak kita mempertanyakan: di mana posisi tubuh perempuan dalam narasi pengobatan?
Keunggulan dan Kelemahan Cerpen
Salah satu kekuatan utama cerpen ini adalah kemampuannya menyatukan humor, kritik sosial, dan refleksi budaya dalam narasi yang mengalir dan menghibur. Deskripsi visual yang hidup dan gaya penulisan yang teatrikal membuat pembaca terlibat secara emosional dan intelektual.
Cerpen ini juga unggul dalam menyampaikan isu kompleks seperti pluralitas pengetahuan dan kekuasaan budaya tanpa menjadi menggurui. Pembaca diajak menertawakan absurditas, tapi juga merenungi nilai-nilai yang terus hidup dalam masyarakat.
Namun, kelemahan cerpen ini adalah minimnya pendalaman terhadap perspektif pasien sebagai subjek. Tokoh Nah, Mbok Rah, dan Nyonya Salyo lebih banyak menjadi objek, bukan penyampai suara. Jika lebih banyak ruang diberikan untuk menunjukkan kesadaran atau pengalaman personal mereka, cerpen ini bisa mencapai kedalaman psikologis yang lebih kuat.
Penutup
“Di antara ludah dan pil kina, masyarakat tak hanya memilih penyembuh, tapi juga memilih cara memahami dunia.”
Cerpen "Mbah Danu" adalah potret jenaka dan pedih tentang benturan antara tradisi dan modernitas yang tak kunjung usai. Dalam setiap sapuan lidi dan tumpahan ludah, tersimpan tarik-menarik kuasa, keyakinan, dan kepentingan sosial. Kebenaran bukan milik tunggal, tapi menjadi arena perebutan makna.
“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah.” Demikian kata Mbah Danu. Tapi benarkah yang lari hanyalah setan? Ataukah akal sehat, suara pasien, dan harapan akan dialog setara yang perlahan-lahan terusir dari ruang penyembuhan?
Daftar Pustaka
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Modul Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI: Cerpen dan Nilai Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Dikdasmen.
Notosoesanto, Nugroho. (1966). Tiga Kota. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugihastuti, R. (2010). Feminisme dan Sastra: Perempuan sebagai Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI