Sejarah Bukan Hak Istimewa Kekuasaan
"Sejarah adalah ingatan kolektif suatu bangsa. Menghapusnya sama dengan membunuh masa depan." — George Santayana
Oleh Karnita
Pendahuluan: Mengapresiasi Suara Jernih untuk Sejarah
Tulisan opini "Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional" karya Jannus Th. Siahaan, sosiolog dari UNPAD, yang dimuat Kompas.com pada 18 Juni 2025, patut diapresiasi. Dalam situasi ketika sejarah mudah digiring ke dalam kepentingan politik, tulisannya hadir sebagai suara yang jernih dan tegas.
Topik ini penting karena sejarah menyangkut identitas dan masa depan bangsa. Ketika sejarah dibelokkan, kita kehilangan arah. Artikel ini mencoba memberi ulasan tambahan atas gagasan Jannus Siahaan, dengan sudut pandang pelengkap, namun tetap sejiwa: menempatkan sejarah di tangan rakyat, bukan penguasa.
1. Sejarah Harus Multi-Suara, Bukan Satu Narasi
Siahaan mengkritik wacana sejarah versi tunggal. Kritik ini sangat tepat. Dalam masyarakat majemuk, sejarah tidak bisa diseragamkan—ia harus mencerminkan banyak suara, termasuk yang getir dan tak nyaman.
Narasi tunggal mengancam lenyapnya kisah para korban dan kelompok yang terpinggirkan. Misalnya, penghapusan fakta pemerkosaan massal 1998 justru memperpanjang luka para penyintas dan mempersempit ruang refleksi bangsa.
Solusinya adalah mendorong sejarah partisipatif. Negara sebaiknya menjadi fasilitator data, bukan pemilik tafsir. Semua pihak—korban, akademisi, dan masyarakat sipil—harus duduk setara dalam merangkai narasi bersama.
2. Akademisi Jangan Jadi Corong Kekuasaan
Tulisan ini juga menekankan pentingnya menjaga independensi kampus. Tekanan politik terhadap akademisi bisa terjadi secara halus, misalnya lewat pembatasan tema riset, dana, atau pengaruh kurikulum.