Kita belajar dari masa lalu—di era Orde Baru, banyak akademisi yang “dipaksa” membenarkan narasi penguasa. Kini, wacana penulisan sejarah resmi bisa menjadi alat kontrol baru jika tidak dikritisi.
Solusinya, perlu ada ruang kolaboratif antaruniversitas untuk menulis sejarah secara terbuka dan ilmiah. Pemerintah cukup mendanai, tapi jangan ikut campur dalam isinya.
3. Luka Kolektif Tak Bisa Dihapus Begitu Saja
Siahaan menyoroti pengingkaran atas pelanggaran HAM sebagai bentuk kekerasan simbolik kedua. Dalam kajian trauma sosial, luka yang diabaikan bisa menjadi bom waktu.
Jika tragedi seperti 1965 atau 1998 dihapus dari catatan publik, negara bukan hanya membiarkan luka tetap terbuka, tapi ikut memperparahnya. Ini akan merusak kepercayaan generasi muda pada negara.
Solusinya adalah mendukung memorialisasi. Bukan sekadar tugu peringatan, tetapi kurikulum yang reflektif, museum kebenaran, dan ruang kesaksian yang memberi suara pada korban dan keturunannya.
4. Sejarah Adalah Proses yang Terbuka
Siahaan menyatakan bahwa sejarah bukan produk jadi, melainkan proses yang terus berlangsung. Ini penting ditegaskan agar publik sadar bahwa sejarah tidak pernah final, tapi selalu bisa dikaji ulang.
Kita butuh lebih banyak perspektif dalam melihat satu peristiwa. G30S, misalnya, tak bisa hanya dilihat dari kacamata militer. Harus ada ruang bagi narasi korban, warga sipil, bahkan pandangan luar negeri.
Solusinya: reformasi buku sejarah sekolah agar bersifat multiperspektif. Contoh baik bisa kita ambil dari Jerman yang menampilkan berbagai sudut pandang dalam buku ajarnya pasca-Holocaust.
5. Tugas Negara: Buka Arsip, Bukan Menulis Ulang