Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Laut Tak Pernah Ingkar janji: Menyelami Makna Hari laut Internasional

9 Juni 2025   18:30 Diperbarui: 9 Juni 2025   18:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyelami Makna Hari Laut Internasional, 8 Juni 2025 (Dok. Jurnas.com)

Laut Tak Pernah Ingkar Janji: Menyelami Makna Hari Laut Internasional

"Ketika laut telah menyihirmu, ia akan selamanya menahanmu dalam jaring keajaibannya." – Jacques Cousteau

Oleh Karnita

Pendahuluan

Dalam rangka memperingati Hari Laut Sedunia, Art:1 New Museum di Jakarta menghadirkan Blue Ocean Exhibition, sebuah pameran seni yang tak hanya menampilkan karya tiga seniman, tapi juga melibatkan berbagai komunitas laut. Diluncurkan tepat pada 8 Juni 2025, pameran ini seolah menghidupkan kembali kesadaran kolektif: bahwa laut bukan sekadar lanskap estetis, melainkan ruang hidup yang butuh dijaga bersama.

Tulisan ini terinspirasi dari artikel Jihan Madubun di Kompasiana berjudul Hari Laut Sedunia: Saatnya Indonesia Tidak Lagi Menutup Mata terhadap Eksploitasi Laut (9 Juni 2025). Di sana, Jihan menulis tajam tentang luka-luka laut Indonesia—eksploitasi sumber daya, hukum yang ompong, dan lemahnya komitmen kolektif. Bacaan itu seperti menampar saya: kita tak bisa terus memuja laut dari kejauhan sambil membiarkannya terluka perlahan.

Saya memilih menyelam dari sisi yang lebih personal. Laut, sejak kecil, adalah ruang magis: tempat angin bermain, matahari karam, dan keheningan menyampaikan pesan. Hari Laut bukan seremoni semata, tapi panggilan nurani: apakah kita masih layak disebut anak alam, atau justru telah menjadi perampas utama? Maka tulisan ini hadir bukan sebagai peringatan, tapi penyelaman—bukan ke samudra luar, melainkan ke laut dalam diri.

1. Laut adalah Ibu yang Terlupakan

“Kita memperlakukan laut seperti lumbung tanpa dasar, lupa bahwa ia bisa kosong.”

Laut telah lama menjadi simbol kesuburan dan pemberi kehidupan dalam banyak budaya. Di Nusantara, mitos Dewi Laut bukan sekadar legenda, tapi cerminan kesadaran kosmis bahwa laut adalah ibu—memberi tanpa pamrih. Namun, dalam realitas modern, laut justru menjadi tempat buangan terakhir: dari plastik rumah tangga hingga limbah industri. Ironi ini tak hanya menyakitkan, tapi juga membahayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun