Laut Tak Pernah Ingkar Janji: Menyelami Makna Hari Laut Internasional
"Ketika laut telah menyihirmu, ia akan selamanya menahanmu dalam jaring keajaibannya." – Jacques Cousteau
Oleh Karnita
Pendahuluan
Dalam rangka memperingati Hari Laut Sedunia, Art:1 New Museum di Jakarta menghadirkan Blue Ocean Exhibition, sebuah pameran seni yang tak hanya menampilkan karya tiga seniman, tapi juga melibatkan berbagai komunitas laut. Diluncurkan tepat pada 8 Juni 2025, pameran ini seolah menghidupkan kembali kesadaran kolektif: bahwa laut bukan sekadar lanskap estetis, melainkan ruang hidup yang butuh dijaga bersama.
Tulisan ini terinspirasi dari artikel Jihan Madubun di Kompasiana berjudul Hari Laut Sedunia: Saatnya Indonesia Tidak Lagi Menutup Mata terhadap Eksploitasi Laut (9 Juni 2025). Di sana, Jihan menulis tajam tentang luka-luka laut Indonesia—eksploitasi sumber daya, hukum yang ompong, dan lemahnya komitmen kolektif. Bacaan itu seperti menampar saya: kita tak bisa terus memuja laut dari kejauhan sambil membiarkannya terluka perlahan.
Saya memilih menyelam dari sisi yang lebih personal. Laut, sejak kecil, adalah ruang magis: tempat angin bermain, matahari karam, dan keheningan menyampaikan pesan. Hari Laut bukan seremoni semata, tapi panggilan nurani: apakah kita masih layak disebut anak alam, atau justru telah menjadi perampas utama? Maka tulisan ini hadir bukan sebagai peringatan, tapi penyelaman—bukan ke samudra luar, melainkan ke laut dalam diri.
1. Laut adalah Ibu yang Terlupakan
“Kita memperlakukan laut seperti lumbung tanpa dasar, lupa bahwa ia bisa kosong.”
Laut telah lama menjadi simbol kesuburan dan pemberi kehidupan dalam banyak budaya. Di Nusantara, mitos Dewi Laut bukan sekadar legenda, tapi cerminan kesadaran kosmis bahwa laut adalah ibu—memberi tanpa pamrih. Namun, dalam realitas modern, laut justru menjadi tempat buangan terakhir: dari plastik rumah tangga hingga limbah industri. Ironi ini tak hanya menyakitkan, tapi juga membahayakan.