Dalam kesendirian yang rapuh, Mariah menikah dengan seorang pria pekerja rendahan. Harapannya sederhana: rumah tangga yang damai. Namun sekali lagi, takdir menampar keras. Suami barunya hanya membawa malapetaka---berjudi, berselingkuh, dan menghabiskan seluruh tabungan Mariah. Hati Mariah remuk, tubuhnya lelah, dan jiwanya nyaris pudar. Demi bertahan hidup, ia menapaki jalan sunyi yang dipenuhi stigma: menjadi kupu-kupu malam. Pilihan ini bukan karena ia ingin, tapi karena dunia memaksanya.
Di tengah keremangan hidupnya sebagai pelacur, Mariah bertemu kembali dengan Sofyan. Sang anak telah tumbuh dewasa, menjadi seorang pemuda terpelajar dan terpandang. Pertemuan itu bukan kebetulan, melainkan takdir yang mengatur jalannya sendiri. Namun tak ada pelukan haru atau kebahagiaan utuh di pertemuan itu---hanya luka lama yang menyelinap dalam sunyi, dan air mata yang tak sempat dijelaskan dengan kata-kata. Dunia kembali menertawakan Mariah, kini dengan ujian terakhir yang tak kalah getir.
Ketika Mariah membunuh seorang lelaki demi melindungi harga dirinya, ia pun diadili. Di ruang pengadilan itulah segalanya terbuka. Sofyan---yang menjadi jaksa dalam persidangan---baru menyadari siapa perempuan yang sedang duduk sebagai terdakwa. Segala kenangan, segala bayang, dan ikatan batin yang selama ini terpendam akhirnya menyeruak. Namun, semuanya sudah terlambat. Kebenaran memang menemukan jalannya, tetapi waktu tak bisa diputar.
Terusir bukan sekadar kisah tentang perempuan yang disingkirkan, tapi tentang keberanian mencintai dan ketegaran menghadapi hidup. Novel ini menyayat hati, namun juga menyalakan lentera simpati di dada pembaca. Mariah, dalam segala keterpurukannya, adalah simbol dari banyak perempuan yang ditelan oleh sistem, prasangka, dan ketidakadilan. Ia mungkin jatuh, tetapi tidak pernah kehilangan kemuliaan jiwanya. Ia terusir dari rumah, tapi tidak dari kasih anaknya. Dan dari sanalah, Buya Hamka menanamkan makna terdalam: bahwa cinta, bagaimanapun bentuknya, selalu menemukan jalannya pulang.
1. Mariah: Luka Perempuan dalam Wajah yang Tak Pernah Lelah
"Sungguh, sahabatku... barang sesuatu apabila berada dalam tangan, kecacatannya yang tampak. Setelah ia lepas dari tangan, barulah kita akan ingat baiknya."
Mariah adalah nama yang terus menggema dalam benak pembaca lama setelah halaman terakhir ditutup. Sosoknya menjadi lambang kesabaran, keikhlasan, dan juga kemarahan tersembunyi. Dikhianati oleh suami karena fitnah, dipisahkan dari anak kandung, dan terpaksa menjalani hidup yang tak pernah dia pilih, Mariah adalah wajah dari begitu banyak perempuan yang kisahnya tak tercatat di lembar sejarah.
Hamka tidak menulis Mariah sebagai tokoh yang sempurna. Ia bukan malaikat, tapi juga bukan durjana. Ia adalah manusia yang jatuh bangun, dengan luka yang disangga tanpa jeda. Dalam kesendirian, ia tetap berusaha bangkit, bekerja, berjuang, meski akhirnya dunia membawanya ke jalan yang gelap. Namun bahkan di kegelapan, Mariah tidak kehilangan nurani.
Daya tarik Mariah justru terletak pada kedalaman lukanya. Ia tidak menjadi perempuan yang lemah, tapi perempuan yang terluka dan tetap berdiri. Dan barangkali itulah kekuatan sastra Hamka: menggambarkan manusia sebagaimana adanya---rapuh namun tetap utuh di tengah badai.
2. Fitnah dan Perjudian Nasib: Ketika Laki-laki Melukai Tanpa Bekas
"Dunia ini panggung sandiwara, dan orang yang berlakon kadang lupa bahwa bukan dia pengarang naskahnya."