Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Ayo Baca": Diplomasi Sastra dan Misi Literasi yang Tak Boleh Setengah Hati

30 Mei 2025   05:13 Diperbarui: 30 Mei 2025   05:13 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kebudayaan Perancis Rachida Dati  meresmikan program Ayo Baca di Benta Budaya, Jakarta (Do. Kompas.com)

Dalam konteks ini, hadirnya bus pustaka keliling (BIMO) pada fase kedua program patut diapresiasi. Tapi dampaknya akan terbatas jika tak disinergikan dengan kebijakan jangka panjang, seperti penguatan perpustakaan daerah, pelatihan pustakawan, dan dukungan anggaran dari APBD.

Solusi konkret yang perlu diusulkan: sinergi antara program IFI ini dengan Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Daerah, disertai insentif untuk sekolah-sekolah yang membuka klub membaca atau diskusi literasi.

2. Sastra Sebagai Medium Diplomasi: Simbol atau Substansi?

"Diplomasi kultural tak boleh berhenti sebagai seremoni."

Kerja sama ini menunjukkan bahwa Prancis melihat sastra bukan sekadar bentuk seni, tapi alat diplomasi strategis. Lewat program Choix Goncourt Indonesia, anak muda Indonesia dilibatkan dalam menilai karya sastra Prancis, dan hasilnya akan diterjemahkan oleh Kompas Gramedia.

Namun pertanyaannya, apakah Indonesia mendapat ruang timbal balik yang setara? Berapa banyak karya sastra Indonesia yang dibaca oleh remaja Prancis? Apakah akan ada program serupa yang memperkenalkan Pramoedya Ananta Toer atau Leila S. Chudori ke ruang-ruang baca di Paris?

Solusi yang adil dan mutualistis: Program ini seharusnya membuka jalur dua arah—dengan pendanaan bersama untuk menerjemahkan karya Indonesia ke Prancis, sekaligus mengikutkan penulis lokal dalam residensi sastra di sana.

3. Kolaborasi Gramedia dan IFI: Jembatan atau Filter?

"Penerbit besar adalah kekuatan, tapi juga harus menjadi penjaga keberagaman."

Penunjukan Gramedia sebagai mitra utama untuk menerbitkan karya-karya terjemahan memang logis dari segi jangkauan distribusi—143 toko di seluruh Indonesia bukanlah angka kecil. Namun ada kekhawatiran bahwa dominasi penerbit besar bisa menyisihkan potensi independen lain yang selama ini gigih memperkenalkan literatur dunia ke tanah air.

Agar kolaborasi ini tidak menjadi monopoli penerjemahan, perlu ada ruang kompetitif dan partisipatif: misalnya dengan membuka proyek penerjemahan terbuka, menyertakan penerbit indie, atau melibatkan komunitas literasi dalam seleksi karya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun