Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semakin Besar Sapi, Semakin Saleh?

29 Mei 2025   07:50 Diperbarui: 29 Mei 2025   07:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sapi limousin (Kompas.com)

Ilustrasi sapi limousin (Kompas.com)
Ilustrasi sapi limousin (Kompas.com)

Setiap tahun kita menyaksikan antrian panjang pembagian daging kurban. Tapi siapa yang sebenarnya ada di barisan itu? Mereka yang benar-benar membutuhkan, atau sekadar warga yang beruntung dekat dengan panitia masjid? Pembagian daging sering kali lebih dipengaruhi oleh relasi sosial ketimbang urgensi kebutuhan.

Tidak sedikit yang mengatakan: "Kami adil kok, siapa datang duluan, dia dapat." Tapi di balik sistem ‘siapa cepat dia dapat’, ada yang terabaikan—mereka yang tak punya akses, yang malu datang karena gengsi, atau yang terlalu lelah untuk berebut. Akibatnya, yang paling layak menerima justru kadang tak kebagian.

Kurban seharusnya bukan hanya soal menyembelih, tapi juga tentang menjangkau. Esensi berbagi tidak berhenti di pemotongan hewan, melainkan menyentuh mereka yang sering luput dari perhatian. Di sinilah pentingnya sensivitas sosial: agar daging yang dibagi bukan sekadar rata, tapi juga tepat sasaran.

7. Dari Ritual ke Gerakan Sosial: Kurban yang Tak Berhenti di Hari Raya

“Ibadah yang baik adalah yang dampaknya terasa, bahkan setelah doanya selesai diucapkan.”

Selama ini, kurban kita maknai sebagai ibadah tahunan yang puncaknya selesai saat daging dibagikan. Tapi bagaimana jika kurban bisa lebih dari itu—menjadi titik tolak gerakan sosial yang berkelanjutan? Bukan hanya soal menyembelih, tapi menyambung kehidupan dan menguatkan solidaritas sepanjang tahun.

Bayangkan jika komunitas masjid tak hanya membagikan daging, tapi juga membangun program pangan murah berbasis swadaya. Atau mendirikan koperasi peternakan bersama warga, agar tahun depan makin banyak orang yang bisa ikut berkurban, bukan cuma jadi penerima. Kurban bisa jadi pintu masuk pemberdayaan, bukan hanya pemberian sesaat.

Ritual tak harus berhenti pada simbol. Ia bisa berkembang menjadi aksi. Ketika semangat kurban dijaga dalam program-program nyata yang menyentuh masyarakat, maka nilai spiritualnya akan terus hidup. Bukan hanya di hati, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup: Mari Kembalikan Ruh Kurban: Dari Ajang Pamer ke Ruang Tunduk dan Ikhlas
 "Ibrahim berkata: 'Aku pasrah kepada Tuhan semesta alam." (QS. Al-Baqarah: 131)

Menghidupkan kembali makna sejati kurban memang tidak mudah, tapi bukan hal mustahil. Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Kita bisa memulainya lewat ceramah, tulisan, atau konten yang menekankan keikhlasan, bukan kemegahan. Kurban sejati adalah menundukkan ego, bukan mengangkat gengsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun