Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semakin Besar Sapi, Semakin Saleh?

29 Mei 2025   07:50 Diperbarui: 29 Mei 2025   07:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sapi limousin (Kompas.com)

2. Mengapa Kurban Kambing Kerap Diabaikan? Padahal Ikhlas Tak Butuh Ukuran

"Dan tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban)..." (QS. Al-Hajj: 34)

Ada ironi yang terus berulang tiap Iduladha tiba. Meski syariat memperbolehkan kambing, domba, dan sapi sebagai hewan kurban, dalam praktik sosial modern, kambing kerap dipandang sebelah mata. Ia dianggap ‘kelas dua’, tidak cukup megah, dan kurang layak dipamerkan. Bahkan, ada yang enggan menyebutnya sebagai kurban utama jika tidak melibatkan sapi jumbo.

Persepsi ini tumbuh subur dalam budaya visual: sapi besar lebih mencolok, lebih "instagramable", dan secara sosial lebih dihargai. Seolah-olah kambing hanya cocok untuk patungan, atau bagi mereka yang “belum mampu”. Padahal, secara nilai ibadah, kurban kambing yang ikhlas jauh lebih luhur dari sapi mahal yang dibeli karena gengsi.

Di sinilah pentingnya kita merefleksi: bukankah dalam kesederhanaan kambing justru tersimpan ajaran ketulusan yang murni? Kurban bukan tentang seberapa besar hewan yang dipotong, tapi seberapa tulus hati yang mempersembahkan.

3. Ketika Kurban Dikemas Layaknya Produk Mewah: Kapitalisme Masuk ke Area Ibadah

"Barangsiapa memperlihatkan amalnya kepada orang lain, maka Allah akan memperlihatkan (aibnya)..." (HR. Muslim)

Dalam sistem ekonomi pasar, hampir segala hal bisa dikomodifikasi, termasuk ibadah. Kini, kurban pun tidak luput dari proses kapitalisasi. Vendor-vendor kurban menawarkan paket “eksklusif” lengkap dengan sertifikat, foto dokumentasi, hingga endorsement selebritas. Bahkan, sapi diberi nama—seolah-olah semakin personal, semakin berharga.

Fenomena ini menimbulkan tekanan tersendiri bagi masyarakat. Kurban tak lagi sekadar pengorbanan, tapi menjadi bagian dari gaya hidup—simbol keberhasilan dan bukti kesalehan publik. Banyak yang akhirnya lebih fokus pada bagaimana kurban mereka terlihat, bukan bagaimana kurban mereka bermakna.

Jika dibiarkan, kurban akan terus menjauh dari makna sejatinya. Ia berubah menjadi portofolio citra, bukan ruang spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.

4. Saat Gengsi Menentukan Pilihan Kurban: Di Antara Niat, Tekanan, dan Realita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun