Mengontenkan Sungai-Sungai di  Bekasi: Dari Lumpur ke Layar, dari Luapan ke Kesadaran
"Air tidak pernah bersalah. Tapi kita sering lupa memuliakannya."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Sungai pernah menjadi pusat kehidupan. Di pinggirnya, anak-anak belajar berenang, ibu-ibu mencuci sambil bercakap, dan para petani menimba air untuk menghidupi ladang. Namun di Bekasi hari ini, sungai-sungai kita---Kali Bekasi, Kali Jambe, Kali Cikeas, hingga Kali Sunter---lebih sering disebut saat meluap, mencemari, atau membawa kabar duka.
Banjir besar yang melumpuhkan sejumlah titik di Bekasi awal 2025 menjadi titik balik. Derasnya air kala itu tak hanya menghanyutkan benda, tapi juga mengusik kesadaran kita bersama: sungai tidak bisa dibiarkan menjadi korban pembangunan yang tak ramah tata ruang. Maka ketika Gubernur Jawa Barat bersama Bupati Bekasi bergerak cepat dengan program normalisasi sungai dan pembongkaran bangunan liar, publik menyambutnya dengan antusias.
Gebrakan ini seperti mengalirkan arus baru. Setiap hari media sosial dipenuhi dengan konten-konten pembersihan, pembongkaran, dan pengerukan. Excavator di bantaran kini lebih sering dilihat daripada selfie di cafe. Tapi pertanyaannya: akankah semua ini menjadi tren sesaat, atau bisa menjadi narasi jangka panjang?
Tulisan ini adalah ajakan beramai-ramai untuk "mengontenkan" sungai---bukan dalam arti sempit memviralkannya di media sosial, tetapi menyemarakkan ingatan, membangkitkan kepedulian, dan menenun kembali hubungan manusia dengan air yang menghidupi.
Dramatik, Riil, dan Berisiko: Daya Tarik Visual Konten Lapangan
YouTuber memilih objek seperti normalisasi sungai dan pembongkaran bangli karena menyajikan aksi nyata yang dramatis. Alat berat, konflik warga, dan intervensi aparat memberi efek visual kuat yang mudah menarik klik dan durasi tonton. Selain itu, peristiwa seperti ini juga memperlihatkan kerja riil pemerintah di lapangan---sesuatu yang jarang terjadi dan dirindukan masyarakat.
Penonton menyukai konten ini karena ada sensasi melihat negara bertindak tegas. Ketika ketidakteraturan ditertibkan, publik merasa ada harapan. Ini menjadi bentuk pelampiasan atas kekecewaan lama terhadap daerah yang tak kunjung ditangani dengan serius, sekaligus ekspresi dukungan terhadap pemimpin yang mau bergerak cepat merespons keluhan rakyat.
Motif moral turut memengaruhi. Banyak yang merasa "berpihak pada kebaikan" hanya dengan menonton dan berkomentar. Ada kerinduan kolektif terhadap pemimpin yang hadir dan bekerja nyata. YouTuber menangkap euforia ini dengan cermat, lalu membingkai peristiwa secara heroik---meski kadang mengabaikan kerumitan sosial yang menyertainya.
Dari Normalisasi ke Normalitas: Bekasi yang Bergerak
"Air mengalir bukan hanya karena gravitasi, tapi juga karena harapan."
Pemerintah Kabupaten Bekasi tampaknya belajar cepat dari tragedi. Melalui Dinas SDA-BMBK, 65 kegiatan normalisasi sungai ditargetkan rampung di 13 kecamatan sepanjang tahun 2025. Ini bukan proyek tambal sulam, melainkan upaya sistemik untuk mengembalikan daya tampung sungai, mengurangi risiko banjir, dan menjaga suplai air saat kemarau.
Hingga Mei 2025, progres fisik telah mencapai 40 persen. Beberapa titik bahkan menunjukkan dampak positif. Debit air lebih terkendali, endapan lumpur mulai berkurang, dan warga setempat mulai bisa tidur lebih nyenyak saat hujan mengguyur.
Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Salah satunya: bangunan liar di bantaran sungai yang jadi hambatan utama. Di sinilah kita menyaksikan bahwa normalisasi fisik membutuhkan normalisasi sosial---kesadaran bersama bahwa sungai bukan tempat mendirikan rumah, melainkan ruang hidup bersama.
3. Bangli di Tepi Sungai: Di Mana Hukum Bertemu Harapan?
"Sungai bukan tempat berlindung dari kemiskinan, apalagi dari hukum."
Kepala Dinas SDA-BMBK, Henri Lincoln, menyampaikan dengan tegas bahwa bangunan liar adalah penghalang utama keberhasilan proyek normalisasi. Alat berat tak bisa masuk, aliran terhambat, dan pengerjaan menjadi tidak optimal.
Namun Henri juga mengakui keterbatasan kewenangan. Penertiban bukan ranah dinasnya. Ia mengandalkan koordinasi erat dengan Satpol-PP. Koordinasi ini, katanya, harus berjalan dengan SOP yang tegas namun tetap manusiawi.
Kita sebagai warga tak bisa hanya menonton. Kita perlu menagih konsistensi aparat, mendukung langkah-langkah hukum yang adil, dan yang tak kalah penting: tidak lagi melihat bangunan liar sebagai solusi jangka pendek, melainkan masalah jangka panjang yang harus ditangani dengan komprehensif.
4. Utara: Hilir yang Harus Dilindungi
"Di hilir, semua air bertemu. Tapi siapa yang menjaga mereka tetap bersih?"
Menurut Agung Mulya, Kabid Pengelolaan SDA Bekasi, fokus utama normalisasi ada di wilayah utara: Tambun Utara, Babelan, Pebayuran. Daerah-daerah ini adalah muara dari banyak sungai dan juga kawasan pertanian yang bergantung pada air.
Pengalaman banjir di awal 2025 menjadi pelajaran penting. Di titik-titik yang telah dinormalisasi, debit air terbukti lebih terkendali. Ini menjadi argumen kuat bahwa program ini bukan sekadar proyek, tetapi kebutuhan mendesak.
Namun utara tidak bisa berjalan sendiri. Semua daerah hulu dan tengah juga harus terkoneksi dalam visi yang sama. Bekasi adalah satu kesatuan ekosistem, bukan puzzle yang bisa dikerjakan potongan demi potongan.
5. Selatan: Turap, Drainase, dan Ketahanan Baru
"Air tidak mengenal batas administratif. Ia mengalir di antara perencanaan yang saling menguatkan."
Jika utara diprioritaskan untuk normalisasi sungai, wilayah selatan Bekasi difokuskan pada pembangunan turap, drainase, dan kolam retensi. Strategi ini menyesuaikan karakter geografis wilayah selatan yang berbeda, lebih tinggi namun tetap rawan genangan lokal.
Langkah ini menunjukkan bahwa pengelolaan air tidak bisa satu pendekatan untuk semua. Setiap wilayah perlu pendekatan berbasis data, pemetaan risiko, dan solusi teknis yang kontekstual.
Infrastruktur air harus dirancang bukan hanya untuk menahan banjir, tetapi juga mengalirkan kesadaran baru tentang bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam.
6. Sungai dalam Konten, Konten dalam Kesadaran
"Yang kita perlukan bukan hanya konten viral, tapi narasi yang membasuh memori kolektif."
Tak dapat dimungkiri, salah satu dampak paling mencolok dari program ini adalah banjirnya... konten. Setiap hari, publik disuguhi video pembongkaran bangli, pengerukan sungai, hingga testimoni warga.
Di satu sisi, ini menggembirakan. Kesadaran publik meningkat, pemerintah terdorong bekerja cepat, dan sungai mulai "diperhatikan". Namun di sisi lain, kita harus bertanya: apakah sungai akan tetap dikontenkan saat tidak lagi dramatis? Saat ekskavator sudah pergi dan air kembali tenang?
Mengontenkan sungai semestinya tidak berhenti di layar. Ia harus menjadi pemantik diskusi, edukasi sekolah, proyek warga, dan bahkan karya seni. Sungai adalah budaya, bukan sekadar masalah infrastruktur.
7. Kita Semua Anak Sungai
"Sungai mengalir ke laut, tapi ingatlah: ia melewati halaman rumah kita terlebih dahulu."
Program normalisasi ini adalah langkah besar, tetapi langkah selanjutnya lebih penting: bagaimana menjaganya tetap hidup? Bagaimana memastikan anak-anak kita tidak sekadar mengenal sungai dari buku IPS, tapi dari pengalaman langsung merawatnya?
Mungkin sudah saatnya kita mulai menulis puisi tentang Kali Bekasi, membuat film pendek tentang Kali Jambe, atau menggelar festival air di bantaran Kali Cikeas. Bukan karena romantisme semata, tapi karena sungai akan mati jika hanya jadi proyek pemerintah. Ia butuh kita. Kita semua: anak sungai.
Penutup: Dari Pinggir ke Pusat, Dari Proyek ke Peradaban
"Sungai yang sehat bukan hanya tentang air yang mengalir, tapi juga tentang kehidupan yang tumbuh di sekitarnya."
Dulu, sungai-sungai di Bekasi berdiri sebagai pusat peradaban lokal. Hari ini, mereka nyaris jadi pinggiran yang dilupakan. Tapi program normalisasi ini memberi harapan baru: bahwa air bisa kembali menghidupkan, bukan menenggelamkan. Bahwa dari pinggir, sungai bisa kembali ke pusat kehidupan.
Lalu, setelah semua dibersihkan dan dinormalisasi, apakah kita akan kembali lupa? Atau justru mulai mengalirkan ulang makna sungai dalam hidup kita? Wallahu a'lam.
Sumber Berita:
Pemerintah Kabupaten Bekasi. (2025). "65 Kegiatan Normalisasi Sungai di 13 Kecamatan Fokus SDA-BMBK Tahun 2025". Siaran Pers Dinas SDA-BMBK, Mei 2025.
Tempo.co. (2025). "Bekasi Bongkar Ratusan Bangli di Bantaran Kali, Warga Pindah ke Hunian Sementara", 8 Mei 2025.
Kompas.com. (2025). "Normalisasi Sungai Bekasi: Upaya Jangka Panjang atau Sekadar Respons Krisis?", 6 Mei 2025.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2024). Peta Rawan Banjir Wilayah Jabodetabek. Jakarta: BNPB.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI